Sebagai yang terdapat dalam
agama-agama besar lainnya, maka dalam agama-agama hindu juga terdapat
aliran-aliran atau sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsepsi tersendiri
dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting dari
pada ajaran pokoknya. Pada umumnya sekte-sekte dalam hinduisme ini meletakkan
dasarnya dalam masalah metode mencapai kelepasan dari samsara serta masalah
filsafat atau teologinya. Kita menyadari bahwa semua orang ingin mendapatkan
jalan yang semudah-mudahnya untuk mencapai tujuan (cita-cita) dengan hasil
semaksimal mungkin. Demikian juga halnya dengan usaha sekte-sekte ini dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Agam hindu setelah mengalami
perkembangannya lebih lanjut sejak 50 SM, timbullah pelbagai macam penafsiran
atas kitab wedha dalam bentuk pemikiran-pemikiran filsafat sebagaimana
kitab-kitab Brahman, Upanishad, Puarana (suatu kitab yang menerangkan pelbagai
sekte dalam hinduisme terdiri dari 18 buah kitab), kitab Sutra dan Sastra dan
Araniyaka, Baghavat gita (nyanyian dewa) dan lain sebagainya.
Pada garis besarnya kitab-kitab
hindu tersebut berisi tentang masalah-masalah sebagai berikut :
- Cerita tentang penciptaan dunia
- Cerita tentang pembagian periode-periode zaman
(Manvantarani)
- Genealogi yaitu silsilah raja-raja dan riwayatnya
- Cerita yang mengandung masalah eskatologi (hal-hal yang
berhubungan dengan hidup dalam alam akhirat)
- Cerita tentanng kekuasaan dewa-dewa dan
perbuatan-perbuatannya terhadap manusia yang menggambarkan bagaimana
hubungan timbal- balik antara manusia dengan dewa.
Dengan timbulnya kesusastraan
kitab-kitab suci yang kesemuaannya mengambil sumber dari cerita-cerita kitab
wedha yang kemudian diolah dan ditafsirkan oleh para pendeta denga latar
belakang fikiran atau perasaanya, maka akhirnya timbullah pelbagai corak
tarikah untuk mencapai cita-cita hidup mereka dalam usaha melepaskan diri dari
samsara.
Latar belakang kepercayaan
hinduistis yang masing-masing mereka tonjolkan dalam tarikah-tarikah tersebut
membawa akibat kepada mereka untuk mengadakan pemilihan terhadap objek
kedewataan yang menjadi titik akhir tujuan pemujaannya.
Sekte Bhakti
Sekitar tahun 500 SM muncul beberapa
kecenderungan yang kemudian dikenal sebagai sekte Bhakti, yang menekankan
pengertian “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang mencakup pengertian
kepercayaan, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan dan kebaktian kepada
dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya terkadang dinyatakan dengan
persembahan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan kepada para dewa
disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan
Bhakti tersebut dilakukan dengan khidmat dan sikap badan tertentu, seperti
sikap merebahkan dan meniarapkan diri didekat patung yang terdapat dalam kuil
atau tempat-tempat yang suci lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.
Uraian tentang Bhakti terdapat dalam
kitab Narada Bhakti Sutra dan Shandilya Sutra. Kitab ini banyak membicarakan
wawasan keagamaan pada sekte Bhakti yang terdapat di India. Menurut sutra-sutra
tadi, Bhakti bukan merupakan suatu pengetahuan dan juga bukan merupakan
perbuatan ritus, juga bukannya system keagamaan, tetapi merupakan kasih sayang,
ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri. Bhakti adalah pasrah setulus-tulusnya
(prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya pada
dewa dengan segenap avatara atau inkarnasinya.
Bhakti ada dua macam, yaitu ;
-
Bhakti yang digolongkan sebagai kurang sempurna atau lebih bersifat
rendah saja, yaitu kalau motivasinya menyangkut masalah duniawi. Misalnya,
motivasi yang berhubungan dengan persoalan sakit, bahaya, atau
keinginan-keinginanyang sifatnya pribadi seperti keinginan untuk mendapatkan
anak laki-laki, ingin sukses dan sebagainya.
-
Bhakti yang sempurna, yaitu bila puja dan Bhakti tersebut dilakukan melulu
karena tujuan mencapai dewa dan dengan hati yang tulus dan mengesampingkan
segala bentuk kepentingan. Bhakti yang lebih itnggi dan sempurna ini bukan
merupakan usaha yang bersifat manusiawi semata, tetapi merupakan anugerah dan
rahmat yang benar-benar murni.
Krishna Bhakti
Krishna sering disebut dalam kitab Mahabharata
(suatu epik yang disusun sekitar 400 SM-400 M). Dalam kitab ini Krishna muncul
sebagai pahlawan yang kemudian terangkat dalam pemujaan sebagai dewa yang maha
tinggi dan menjadi “Tuhan” yang menyelamatkan manusia. Dalam hal ini Krishna
sering dianggap sama denga Brahma dalam kitab Upanishad. Tetapi arti ketuhanan
Krishna lebih meresap dalam Bhagavadgita.
Kitab Bhagavadgita memuat uraian
tentang suatu peperangan yang tekanannya adalah pada ajaran tentang amal
perbuatan atau “karmayoga”. Puncaknya terdapat pada ketaatan Arjuna yang
menerima ajaran Krishna berupa pandangan wejangan-wejangan yang mistis. Semua
hal yang berhubungan dengan Bhakti sangat diutamakan. Kunci kepercayaan
mengenai Bhakti adalah kepada “Tuhan” semata. Pandangan demikian ditujukan pada
orang yang memuja dan melakukan Bhakti, mengabdi dan pasrah hanya kepada dewa,
dan mereka inilah orang-orang yang mendapatkan anugerah serta rahmat dari
Krishna. Intrepetasi karma yang sangat menekankan pada usaha sendiri sangat
erat dengan ajaran diatas. Sekalipun Bhagavadgita mengajarkan bahwa perbuatan
pasti terjadi dan bahwa karma adalah hasil atau akibat dari perbuatan, namun
disini tampak bahwa dalam ajaran Bhakti orang yang memuja dan melakukan Bhakti
pada Krishna tidak akan mengalami kelahiran kembali.
Cerita-cerita mengenai Krishna
banyak berkembang sekitar abad ke-4 M yaitu ketika tersusunnya Mahabharata,
Harivangsa, dan Bhagavad Puruna. Konon Krishna dilahirkan dalam suatu
keluarga bangsawan, dan sejak kecil sudah memperlihatkan hal-hal yang luar
biasa. Ia menjalin kisah asmara dengan seorang gadis gembala bernama Radha.
Keduanya sering dilukiskan bersama-sama dan seringkali digunakan sebagai suatu
kiasan hubungan antara jiwa dan Tuhan.
Di daerah Tamil di India selatan
kebaktian Krishna untuk pertama kalinya menjadi terkenal tepatnya pada awal
abad ke- 8 M atau mungkin lebih awal lagi, pembaharuan rohani yang besar sudah
dimulai oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai Alvar “ orang
yang mempunyai pengetahuan intuitif tentang Tuhan”. Orang-orang ini rupanya
muncul dari suatu bagian penduduk Dravida yang tetap tak terjamah oleh
panteisme Upanishad. Pendekatan mereka terhadap Tuhan begitu personal dan
kebhaktian mereka kepadanya begitu emosional. Bagi mereka pembagian kasta tidak
masuk hitungan, karena kesepuluh orang yang dianggap suci sebagian adalah kaum
sudra, sebagian lagi orang luar kasta dan satu orang wanita. Bahasa yang
digunakannya pun bukanlah sansekerta melainkan Tamil. Hal ini membedakan mereka
dengan dari sekte-sekte non vedis lainnya seperti misalnya kaum smarta yang
menitik beratkan pada kitab-kitab smriti dalam bahasa sansekerta. Gerakan kaum
alvar ini barangkali dimulai diluar lingkup Brahmana, tetapi seperti halnya
semua gerakan dikemudian hari yang mencoba menghapuskan kasta, pada akhirnya
menyerap system kasta kedalam dirinya.
Diantara para alvar hanya Namm’alvar
yang meninggalkan sesuatu seperti tulisan-tulisan sistematis mengenai apa-apa
yang mereka percayai, ia juga menyangkal bahwa tujuan tertinggi manusia adalah
pembebasan, karena baginya yoga tanpa cinta tidaklah mempunyai arti, jikapun
ada tak lebih dari sekedar pengalaman akan keberadaan dalam hakikatnya sendiri,
yakni dalam kesendiriannya sebagai satu diantara banyak makhluk Tuhan.
Puisi-puisi alvar yang konon katanya
diperuntukan dalam pengantarn kepergian orang-orang Budha dan Jaina yang ateis
dari India Selatan.
Kisah Krishna banyak
disyairkan oleh para alvar (para penyair yang biasanya mengungkapkan
kehidupan keagamaan atau rasa ketuhanan). Sedemikian mendalamnya mereka
tenggelam dalam perasaan ketuhanan dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan mereka
tentang kehidupan Krishna dan Radha. Bhakti banyak dilukiskan sebagai tipe
orang yang cinta terhadap Tuhan, sebagai cinta kasih orang tua terhadap
anaknya. Para alvar tersebut sering mengungkapkan ketaatan dan kepatuhan
terhadap Tuhan dalam istilh sakhnya (cinta kasih sayang), dasya
(pemujaan dan pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya), vatsalya
(kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya), juga madhurya (cinta kasih
seorang wanita terhadap pria pujaannya). Para alvar itu banyak yang menempati
hati pada acarya yang tampak jelas pengaruhnya dalam pemikiran daar
filosofis tentang Bhakti dan ketuhanan. Diantaranya adalah Acarya Ramanuja.
Rama Bhakti
Di Indonesia dikenal adanya dua epik
yang sangat termasyhur, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Epik
Ramayana tersusun sempurna kira-kira abad ke-4 SM, dan berisi tujuh bab
sekalipun bab pertama dan bab terakhir merupakan tambahan saja. Rama
dikemukakan sebagai pahlawan agung dan masih tetap manusia. Banyak dewa agama
weda disebut dalam epik tersebut. Wisnu, juga Siwa menempati kedudukan yang
penting, seperti halnya Krishna, rama adalah inkarnasi wisnu
Tokoh sekte ini adalah Ramananda yang hidup disekitar abad 15 M, ia memuja Rama
dan Sita, ia tidak menganggap penting persoalan kasta dalam kaitannya
dengan ajaran agama Bhakti. Para penganut ini umumnya berpendapat bahwa
seseorang dapat mencapai kelepasan melalui pemujaan terhadap dewa atau Tuhan
tanpa memperdulikan masalah kasta. Paham ini disebut Ramanandi, dan sering juga
disebut Ramawat. Sekte ini percaya kepada tuhan yang disebut Rama, dan menurut
mereka Bhakti adalah cinta kasih terhadap tuhan secara sempurna dan bahwa semua
manusia adalah bersaudara. Ramananda tidak sepakat dengan gurunya dalam hal
peraturan-peraturan yang ketat mengenai pertarakan dan juga dalam hal larangan
makan bersama-sama dengan orang-orang dari kasta yang berbeda. Pemujaan
terhadap Rama dilepaskan dari hal yang bersifat esoteris yang diperoleh dari
pemujaan terhadap Krishna. Pengikutnya tersebar luas kesegenap penjuru India.
Salah seorang tokoh dalam aliran Ramananda ialah Kabir yang juga menolak kasta
dan praktek upacara-upacara dan perayaan-perayaan lain dengan berpendapat bahwa
Rama adalah spirit dan jiwa, ia berkesimpulan bahwa Rama tidak dapat dipuja
dalam bentuk-bentuk patung tetapi cukup hanya melalui doa-doa saja. Lebih jauh
lagi ia berpendapat bahwa Tuhan bukan hanya milik orang hindu atau islam saja.
Kabir tekenal dalam sikapnya yang mementingkan masyarakat sikh yang berusaha
untuk menerapkan ajaran pokok agama hindu dan akidah islam, serta sangat gigih
berusaha menghilangkan perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan antar
keduanya. Ia dilahirkan sebagai seorang muslim dan kendati pada awal hidupnya
dia meninggalkan kepercayaan muslimnya, ia tetap memegang teguh monoteisme
muslim yang keras dan sangat membenci system kasta. Oleh karena itu agak aneh
bahwa ia terbiasa menggunakan “Ram” (Rama) untuk menyebut Tuhan meskipun dalam
kenyataannya ia juga sanagt membenci politeisme hindu. Hal ini kiranya
menunjukan bahwa pendewaan Rama sudah begitu jauh berlaku, sehingga namanya
telah menjadi suatu sinonim untuk “Tuhan”. Bagi Kabir, Rama bukan lagi pahlawan
mitologis dalam Ramayana. Rupanya merupakan perhatian Kabir untuk membangun
suatu agama yang tidak dikekang baik oleh dogma, kitab suci, ataupun system
social. Agamanya baginya sebagai urusan pribadi , sesuatu hubungan antara
seorang manusia, Tuhan juga gurunya. “ Hendaklah engkau mengendarai refleksikmu
sendiri ; taruhlah kakimu pada sanggurdi pikiranmu yang tenang”. Kata Kabir,
merekalah pengendara-pengendara yang baik yakni yang bias menjauhkan diri dari
Veda dan Qur’an”. Kendati demikian usaha-usaha Kabir untuk mencipta suatu
jembatan antara kedua agama itu gagal dan para pengikutnya kini terpecah belah
antara mereka yang menamakan diri sebagai muslim dan mereka yang menamakan diri
Hindu.
“Aku telah berpisah dari hindu dan
muslim, tulisnya. Tak akan ku memuja dengan orang hindu tidak juga sebagaimana
orang muslim pergi ke Mekah. Aku hanya akan mengabdi kepadaNya, lain tidak tak
akan ku berdoa kepada berhala ataupun mengucapka doa muslim. Akan ku taruh
hatiku pada kaki Sang Mahatinggi, sebab kita bukan lagi hindu ataupun muslim”.
Seorang penyair yang juga
terpengaruh oleh pemujaan terhadap Rama adalah Tulsi Das (1532-1923). Berbeda
dari sebagian pembaharu bhkti lainnya, ia seorang konservatif dan kadang
malahan reaksioner terutama sikapnya terhadap wanita. Sekalipun ia menulis
lebih dari 20 karya resmi, namun yang sangat terkenal dan besar pengaruhnya
ialah Ramacharitmanas yang disusun dalam bahasa hindu. Isinya menekankan pada
pemujaan terhadap Rama. Ajaran Bhakti Tulsi Das sangat berpengaruh dalam
pengembangan pemikiran tentang ketuhanan di India.
Sekte wisnu (vaisnava)
Sekte wisnu merupakan suatu aliran yang menekankan peemujaan terhadap Wisnu,
istrinya dan avataranya. Pemujaan ini biasanya mengutamakan tafsiran teistik
pada Wedanta, diantaranya oleh Visnusvamin (abad ke-13),
Sekte wisnu atau vaicnava mementingkan ekstase kasih sayang terhadap
Krishna dan radha. Para pengikutnya sering digolongkan pada vainawa yang
kemudian masih terbagi lagi menjadi dua aliran, yaiu tenkalai dan vadakalai
yang perbedaannya terletak pada persoalan anugerah dan rahmat tuhan. Kitab yang
sangat terkenal pada sekte ini adalah Bhagavadgita Purana dan Gitagovinda. Tokohnya
yang terkenal adalah ramanuja seorang brahmana asal India selatan. Ia beruasha
untuk mempersatukana agama Wisnu. Ia menuliskan tafsir wedanta-sutra, yang
disebutnya dengan sri bhasya. Ramanuja menyusun marga-marga menjadi Karma
marga(jalan pekerjaan), Jnana marga(jalan budi yang lurus), dan Bhakti
marga(jalan penyerahan diri kepada tuhan). Sumber lain menambahkan yoga
marga(jalan pengheningan cipta dan bertapa).
Dalam selanjutnya aliran ini berkembang menjadi beberapa sekte dan yang
penting diantaranya Pancharatra, Waikhanas dan Karmahina. Sampai sekarang
aliran yang mempunyai banyak penganut di India adalah aliran sri dengan
tokohnya ramanuja, aliran brahma dengan tokohny Madvacarya, aliran Rudra
dengan tokohnya Visnuvamy, dan sanak dengan tokohnya Nimbaska.
Seperti dikemukakan dalam literatur,
sekitar abad ke-4 ada dua dewa yang sangat terkenal yaitu wisnu dan Siwa pada
masa purana sekitar 300-1200, wisnu sangat tinggi kedudukannya dan sangat luas
pengaruhnya karena ajaran avataranya yang dikembangkan saat itu. Dalam purana,
wisnu dinyatakan mempunyai beberapa avatara secara tradisional), akan tetapi
kalau diperhatikan benar-benar barangkali saja ada lebih dari duapuluh avatara.
Kesepuluh avatara tersebut ialah :
- Matsyavatara
“Berupa ikan besar untuk menolong
manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya”.
- Kumavatara
“sebagai kura-kura untuk menolong
dewa-dewa pada waktu mengaduk samudra guna mendapatkan air amerta (air
hidup) yakni yang bilamana diminum, orang akan mengalami hidup kekal abadi”.
- Varahavatara
Sebagai babi rusa yang menolong
manusia dari raksasa jahat Hiranyaka yang menyeret manusia dengan
menggit bumi yang pada saat itu akan dibawa ke patala (neraka dibawah
bumi) oleh musuh-musuh manusia.
- Narasimhavatara
Sebagai singa yang berbadan manusia,
yang membunuh Hiranyakasipu seorang Daitya yang tidak bisa dibunuh oleh
siapapun dan yang melarang orang menyembah Wisnu serta menyiksa para pemuja.
- Vamanavatara
Sebagai orang cebol yang dapat
mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka, cucu raksasa tersebut bernama
Bali (Daitya Bali), dan merebut kembali kahyangan yang dikuasainya sehingga
para dewa dapat menempatinya sebagai semula.
- Parasuramavatara
Sebagai kesatria yang bersenjatakan
parasu (kampak) membunuh beberapa kesatria yang menghina ayahnya, sebagai atas
balasan penghinaan tersebut.
- Ramavatara
Sebagai kesatria anak Dasarata yang
dibuang ke hutan belantara dimana ia kehilangan istrinya Shinta, karena
perbuatan Dasamuka (Rahwana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya umat
manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali
istrinya (cerita tentang Ramatersebut terdapat dalamkitab Ramayana).
- Krishnavatara
Sebagai Krishna yang kemudian
membunuh Kamsha, raja Mathura kemenakan Krishna dan melepaskan umat manusia
dari kejahatan-kejahatannya.
- Buddhavatara
Sebagai Budha Gautama yang yang
bertuga melemahkan musuh-musuh para dewa yang menyebarkan ilmu palsu
10. Kalkinavatara
Sebagai penjelmaan Wishnu yang akan
dating ketika kejahatan sudah sangat memuncak pada akhir jaman Kaliyuga dan
umat manusia sudah tak mau lagi kembali kepada jaman kebaikan. Setelah itu
dunia akan mulai dengan jaman Kertayuga dengan manusia-manusia yang baru.
Oleh para ahli pikir India, aliran
wisnu diberi dasar kefilsafatan sehingga mendapat tempat dikalangan para
cendekiawan India.
Wisnu banyak disebut dalam rigweda.
Legendanya terdapat dalam Shataphata brahmana[5]. Dalam
cerita-cerita klasik dan ikonografi purana, wisnu dilukiskan berbaring diatas
air pada lingkaran gulungan ular kobra yang berkepala seribu yang melindunginya
sebagai tudung diatas kepala dan dari pusarnya tumbuh setangkai bunga teratai
yang diatasnya ada brahma sang pencipta dunia. Wisnu disini adalah sebagai sang
pencipta narayana dalam tubuhnya dan dewa-dewa lainnya terserap kedalam dirinya
sebagai avatara-avatara semata.
Seorang tokoh yang terkanal adalah Mahdva yang pada sekitar abad ke-13 membawa
teologi aliran wisnu kedalam dualisme bebas. Wisnu sebagai jiwa dan sangat berbeda
dengan alam. Jiwa ini punya sebutan sebagai cit (sadar) dan materi atau alam
dinamakan sebagai acit (tidak sadar). Alam materi sangat bergantung dan
tunduk kepada tuhan dan tuhan akan menyelamatkan orang-orang yang disenanginya
yang hanya merekalah yang tulus dan suci saja. Dan jiwa takkan binasa melainkan
dapat berpindah-pindah dari jasad tanpa akhir.
Tuhan dan jiwa bagi Madhva sangatlah jelas berbeda. Ia sangat mempertahankan
keabsolutan Upanishad. Setiap jiwa pada dasarnya sangatlah berbeda dari
jiwa-jiwa yang lainnya, berbeda dari Tuhan yang berfiat abadi yang berbeda pula
dari dunia yang selalu diciptakan pada awal setiap siklus waktu. Madhva
menekankan pada keunikan setiap jiwa masing-masing orang. Ia berpendapat bahwa
ada beberapa kelompok keselamatan maupun kecelakaan yang merupakan rangkaian
keistimewaan jiwa. Ajaran karma memberi kesempatan kepada jiwa yang buruk
dengan melalui hukuman dalam waktu yang relative lama agar dapat meningkatkan
kehidupan yan lebih baik.
Dalam aliran wisnu masih terdapat dewa lain yang juga dipuja, seperti brahma
sang pencipta dan istrinya saraswati yang banyak dipuja oleh para seniman musik
dan sastrawan serta para siswa yang mengharapkan kelulusan. Dewa surya (dewa
matahari) juga banyak dipuja dikalangan maga Brahman. Anak Siwa yag berkepala
gajah yaitu Ganesha juga anak yang lain yaitu Skandha (Kartikeya, Subrhamanya)
banyak dipuja di Tamilnad. Istri wisnu sendiri Lakshmi juga dipuja dan disembah
sebagai dewi keberuntungan.
Sekte Siwa (saiva)
Sekte ini lebih tua dari sekte wisnu. Disini Siwa dianggap sebagai dewa
tertinggi, sementara brahma dan wisnu dianggap sebagai penjelamaan dari Siwa.
Istri Siwa atau saktinya Uma dan parvati. Siwa dipuja sebagai dewa tertinggi
dengan nama mahadeva atau mahesvara, dengan saktinya mahadevi dan mahesvari.
Siwa juga disembah sebagai guru oleh para resi dan para yogin (pertapa). Karena
itu ia disebut sebagai Maha guru atau mahayogi, sebagai penghancur atau
pengrusak ia mendapat sebutan Mahakala dan saktinya Kali atau Durga. Dan bentuk
yang sangat menakutkan Bhairava dengan saktinya Candika (yang maha bengis,
ganas).
Dewi Ibu yang dipanggil sebagai Uma dan Kali atau menurut aspeknya yang
medatangkan keuntungan sudah lama terkenal dengan keburukannya karena dikuilnya
di Calcutta berlawanan dengan hokum ahimsa , binatang-binatang terus
saja disembelih dalam jumlah yang sangat besar sebagai korban, juga
hingga saat ini. Secara ikonografis ia dilukiskan menari diatas tubuh Tuhannya
yang meniarap berhiaskan tengkorak dia menari dengan lidah menjulur keluar,
baah dengan darah. Orang akan berpikir bahwa figur seperti ini tentu saja lebih
mengantar pada gambaran tentang kengerian daripada pemujaan yang penuh cinta,
tetapi kenyataannya yidak saja Ramprasad melainkan Rama Krishna Paramahamsa.
Eksakte yang berlaku dalam pemujaan Krishna hamper-hampir tak sebanding dengan
yang berlaku untuk istri Siwa yang mengerikan ini, karena dalam kecantikannya
ia sangat menakutkan tetapi kemanisannya justru terletak pada kengeriannya itu.
Satu kutipan kiranya cukup untuk memperlihatkan bagaimana kali si pembunuh
universal dari semua makhluk yang pernah lahir, toh dapat memberikan inspirasi
untuk devosi membara dalam semangat India.
Senantiasa engkau menari dalam
peperangan, oh Ibu. Tiada kecantikan sebagaimana kecantikanmu, seperti ketika
dengan rambutmu tergerai disekitarmu, menari senantiasa, seorang prajurit
telanjang di dada Siva.
Kepala anak-anak mu yang masih segar
terbunuh setiap harinya, tergantung sebagai karangan keliling lehermu. Betapa
pinggangmu terhias dengan tangan-tangan manusia ! anak-anak kecil menjadi
anting-antingmu. Sempurnalah bibirmu indah, gigimu mungil seperti melati yang
berkembang penuh. Wajahmu bercahaya seperti bunga teratai dan hebatlah senyuman
lestarinya. Bentukmu indah seperti mendung; bernoda darah kaki-kakimu. Kata
Prasad: Pikiranku seperti dia yang menari, mataku tak lagi mampu menyaksikan
keindahan sedemikian.
Para penganut Siwa juga mengakui Bhakti sebagai cara memuja dan menyembah Siwa.
Keberhasilan ini adalah berkat penyebaran ajaran sejumlah orang suci yang
menyatakan yang menyatakan bahwa keselamatan hanya diperolah lewat penyerahan
diri yang total kepada Siwa. Pada akhir abad ke-11 M lagu-lagu pujian dari para
suci ini telah dikumpulkan bersama dan diberi judul Devaram. Kumpulan
ini bersama denagn Tiruvacakam atau “ucapan suci” dari Manikka Vasagar
dan tulisan-tulisan tambahan lainnya dikenal sebagai Veda dari Tamil.lagu-lagu
Saivite berbeda dari saingan mereka Vaishnavite karena adanya perasaan yang
yang tak pantas yang luar biasa yang dirasakan oleh si pemuja dihadapan sang
Maha Suci. Kendati demikian, yang membedakan para suci kaum Saivite dari Tamil
dengan hamper semua peribadatan bhakti lainnya adalah perasaan mereka yang
begitu peka terhadap kesalahan pribadi, manusia sebagaimana adanya dari Tuhan,
jahat dan rusak secara mengerikan. Dia hamba dari anava-nya dan
egoismenya
Jahat, jahat semata bangsaku,
sifat-sifatku semata jahat
Kebesaranku hanya dalam dosa,
jahatlah bahkan kebaikanku.
Jahat kedirianku yang terdalam,
tolol karena menolak kemurnian,
Bukanlah binatang aku ini, namun
cara-cara kebinatangan tak dapat ku ingkari.
Dengan kata-kata keras, dapatlah aku
menyatakan kepada orang-orang apa yang harus mereka benci.
Namun tak pernah aku mampu
memberikan hadia-hadiah hanya meminta untuk itu saya tahu.
Ah, betapa bobrok saya ini, kemana
aku bakal dilahirkan?
Sekte ini juga terpecah menjadi beberapa aliran yang mendasarkan pandangannya
pada kefilsafatan, seperti Pasupata (memuja Siwa pasupati, sebagai Pati dari
kawanan makhluk Pasu yaitu umat manusia), Kalamuka (berusaha melepaskan diri
dari ikatan keduniawian dengan mandi abu dan makan minim dengan tengkorak
manusia), Lingayat (mempunyai cirri menggunakan kalung dalam bentuk telingan),
dan Kalapika (minum anggur dan makan daging serta melakukan perbuatan seksual
untuk melukiskan persekutuan kekal antara Siva dengan saktinya atau daya
penciptaanya).
Filsafat Saiva siddantha
mendasarkan diri pada Svetasvara Upanishad maupun pada tulisan-tulisan
para suci dari Tamil. Kendati demikian, para penulis Saiva Siddantha menaruh
kepentingan yang sangat besar pada ajaran rahmat yang dengan bebas diberikan
dan ketidakmungkinannya kemajuan rohani tanpa cinta.[6]
Tokoh aliran Siwa yang terkenal
ialah Meykanda yang mengajarkan konsep Pati (Tuhan ) sebagai yang maha kekal
berada tanpa sebab dan mahakuasa, Pasu (jiwa) juga bersifat kekal yang
terkukngkung dala mala (semacam karat) yan terdiri dari tiga Pasa yaitu Anava,
Karma dan Maya sehingga jiwa selalu berada dalam samsara, dan Pasa (ikatan,
persatuan).
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Siwa mempunyai kesadaran dan berwatak
laki-laki dan istrinya atau saktinya juga berkesadaran dan berwatak wanita yang
dikenal dengan nama durga. Sakti adalah sisi Siwa yang aktif dan merangsang
untuk aktif, oleh adanya sakti ini maka Siwa memerintah dunia materi yang
sebenarnya adalah maya yang didalamnya tinggal para Pasu yang nasibnya dikuasai
oleh karman. Melalui sakti Siwa yang mendorong untuk aktif, sehingga berlakulah
apa yang ada didunia ini. Demikianlah jiwa ada dalam samsara karena karman,
mala, maya dan dunia materi yang semuanya berasal dari roda sakti, oleh karena
itu hanya Siwa saja yang memungkinkan jiwa individu dapat melepaskan diri dari
karma dan mala sehingga dapat mencapai moksa dan menjadi sehakekat dengan Siwa.
Meykanda juga menyusun empat-pada, yaitu Jnana-pada (bagian dari pengetahuan),
Yogya-pada (bagian dari latihan-latihan rohani), Kriya-pada (bagian
daripelantikanbiarawan, pembuatkuil dan pembuat patung dewa), dan Carya-pada
(bagian dari tata tertib).
Dalam sekte Siwa ditemukan adanya Siwa-Narayana yang bersama-sama denga para
alvar dalam aliran wisnu yang menciptakan kidung puja yang kemudian berbentuk devaram
(konon terdiri dari dua belas kitab). Diantaranya yang disebut Tirumurni yang
hampir sama dengan srutinya golongan Siwa-siddhanta. Sekte yang tersebut akhir
menyebarkan ajaran ketuhanan yang sangat besar di India selatan, diantara
usahanya yang sangat menonjol adalah penyusunan sistem ketuhanan pada saiva
tamil, yaitu Siva-Jnana-Bodham[7] dari Meykanda yang terkenal
sangat realistis dan teistis dalam gaya pemikirannya.
Aliran yang mengutamakan Siwa sebagai maha guru lebih menekankan bahwa
Siwa adalah guru yang anugerah dan rahmatnya akan ada bilamana orang
tunduk dan berserah sepenuhnya kepada ajaran-ajaran guru manusia. Karma
dan maya bukan dosa dan bukan kejahatan akan tetapi merupakan jalan dan cara
yang digunakan oleh Siwa untuk membersihkan dan menyucikan jiwa dari
ketidaktahuan. Tiga macam jalan yaitu, mengabdi, memuja dan meditasi sangat
diutamakan.
Cabang aliran Kashmir yang muncul pada sekitar abad kesembilan, agak sedikit
berbeda. Pada aliran ini Siwa hanya merupakan suatu bentuk filsafat advaita
yang merupakan realitas alam yang merupakan emanasinya. Tokoh aliran ini
Kashmir ini ialah Sankara yang terkenal dengan ajarannya yang disebut monisme
absolute (advaita Vedanta).
Ciri-ciri yang mencolok dari semua
sekte bhakti adalah penyerahan diri kepada Tuhan yang personal dan ini
cenderung menjadi sanagt emosional. Bhakti dipertentangkan dengan Jnana, devosi
dengan pengetahuan. Yang pertama ditinggikan melebihi yang lain, akan tetapi
kecenderungan panteistis yang senantiasa kembali dalam hinduisme tidak mudah
dihindari dan bercokol dengan kuat juga dalam gerakan bhakti. Orang senantiasa
menyadari adanya perasaan tak enak ; seolah bhakti merupakan cara yang gampang
menuju ekstase, dan karenanya jalan pengetahuan yang dalam praktek berarti
pencapaian moksha dengan disiplin yang keras pastilah lebih tinggi dan lebih
otentik.
Ramprasad Sen menandai akhir dari suatu masa-masa bhakti. Selama masa itu
Hinduisme telah mengalami suatu perubahan yang mendalam; bukan ritualisme,
bukan pula pencapaian moksha, ketenangan yang sesuai dengan watak bangsa hasratakan
pengalaman religious ini. Mistisme yang di India sering diidentikkan dengan
agam membelokkan arah pandangan India dari pusat yang ada didalam jiwa ke Tuhan
yang ada diluar. Tuhan adalah pencipta sang jiwa dan dengan ini seluruh dimensi
baru telah ditambahkan kepada kehidupan rohani. Inilah pengalaman batin itu,
secara lahiriah pembaharu bhakti mengamati kehidupan masyarakat hindu dan
mendapatkan strukturnya tidak baik. System kasta mungkin pernah menjadi sarana
yang berguna kini menampakan ketidakadilan dan membuat perpecahan yang tak
tertahankan antara manusia dengan manusia, sehingga dalam persaudaraan mereka
sendiri menghapuskannya, karena masih percaya bahwa Tuhan masih mempunyai cinta
yang sama untuk semua makhluknya.
Daftar Pustaka
1. Drs. Mujahid Abdul Manaf, Sejarah
Agama-Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996
2. Mukti Ali, Agama-Agama Dunia,
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
3. R.C Zaehner, Kebijaksanaan
dari Timur, Penerbit P.T Gramedia 1992
4. Dr.A.G. Honig, Ilmu Agama,
Gunung Mulia, 1997
5. Prof.Dr.Ahmad Shallaby, Agama-Agama
Besar Di India, Bumi Aksara, 1998
6. Dr.M.Ghallab, Falsafat Timur,
Saeful Medan 1950
0 komentar:
Posting Komentar