Dalam jangkamasa antara 500
tahun sebelum Masehi sampai 500 tahun sesudah Masehi Berlangsung perkembangan
aliran-aliran filsafat di dalam agama Hindu dengan sistem- sistem tinjauan
(dharsanas) tersendiri terhadap permasalahan keagamaan.[1]
Menurut tradisi India, Realitas
Mutlak (Ultimate Reality) itu hanya satu, tetapi disampingnya terdapat enam
interpretasi dasar mengenai Realitas, yang disebut Sad Darsana / Six Insight/
Enam Wawasan. Kata Sansekerta darsana
berasal dari asalkata ‘drs’ berarti melihat, yakni suatu istilah
Sansekerta untuk falsafat/filosofi. Sad Darsana/Keenam Wawasan tersebut
membentuk sistim falsafat klasik India yakni : Nyaya, vaesesika, samkhya, yoga,
Mimasa dan Vedanta. Para pendiri Sad Darsana yang asli tidak diketahui/dikenal.
Keenam wawasan/pengertian itu berangsur-angsur menjadi interpretasi mengenai
Realitas Mutlak, masing-masing saling berjalin sehingga hipotase dan metode
masing-masing saling bergantung satu dengan yang lain. Semuanya menuju ke
pengetahuan mengenai kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh /sukma /soul[2]
Sankhya
dan yoga, Mimasa dan Vedanta, Vaesesika, dan Nyaya, enanm sistem klasik, atau
enam filsafat, atau, secara lebih literer, enam sudut pandang (darsana,
dari kata drs “melihat”), dianggap sebagai enam aspek dari sebuah
tradisi ortodoks tunggal, Meskipun tampaknya dan secara lahiriyah saling
kontradiktif, keenam aspek tersebut dipahami sebagai proyeksi-proyeksi yang
saling melengkapi dari sebuah kebenaran tentang berbagai latar kesadaran,
institusi-institusi kebenaran dari sudut-sudut pandang yang berbeda seperti
pengalaman tujuh orang buta yang meraba-raba seekor gajah dalam fabel Budha
populer. Para pendiri enam sistem tersebut, yakni Kapila, Patanjali, Jaimini,
Vyasa, Gautama, dan Kanada, mungkin lebih dipandang sebagai aliran-aliran
daripada individu-individu. Tidak ada yang diketahui tentang merka itu kecuali
namanya. Sutra mereka banyak dijumpai pada bagian awal berbagai buku yang
ditulis oleh para pengulas dan karya-karya mereka sendiri yang mengundang
diskusi panjang; masing-masing karya berisi argumentasi-argumentasi yang saling
menyerang. Jika tidak ditulis oleh banyak ahli, karya-karya mereka tidak akan
bisa dipahami dengan jelas karena bukan karya para pemikir independen yang
berdiri sendiri, tetapi merupakan “benang-benang” (sastra) mnemonic
sebagai petunjuk pengajaran lisan ala India kuno dari guru kepada adhikarin-nya.[3]
Aliran samkhya
Samkhya itu bermakna : akal (reason).
Aliran Samkhya itu dibangun oleh Kapila. Aliran Samkhya itu membahas tentang
Jiwa dan tentang Materi beserta hubungan antara keduanya yang membangkitkan
Tabiat pada segala sesuatunya. Aliran Samkhya itu menunjukkan 25 buah kesatuan
(tattvas) yang amat menentukan di dalam proses kedirian, bagi pembentukan
pribadi.
Dua kesatuan yang paling azasi
dan saling bertentangan ialah purusha (jiwa) dan prakerti (materi,
benda). Jiwa itu tidak terbatas jumlahnya dan berisikan akal murni. Satu
persatunya berdiri sendiri-sendiri, tak terbagi, tak bersyarat, tak berobah,
dan abadi. Jiwa itu berkaitan dengan materi, yakni : prakriti, pradhana,
avyakta.
Pada mulanya prakeriti itu
berada dalam keadaan diam. Thariqat-thariqat dalam dunia mistik Islam
memanggilkan perikeadaan diam itu dengan alam-tsabitah. Prakriti itu
memiliki tiga sipat (gunas), yaitu :
1.
Sattvas, yakni kebijakan.
2.
Rajas, yakni hasrat.
3.
Tamas, yakni kegelapan.
Ketiga-tiga gunas itu masih berada dalam
pertimbangannya. Kemudian purusha (jiwa), sesuai dengan krama-nya
(kewajibannya), lantas menggerakanya. Prakriti bergetar, dan satu persatu gunas
itu lalu kehilangan perimbangannya. Dari pergerakan prakriti itu lahirlah 23
tattvas (kesatuan) lainnya.
Pertama-tama
lahir buddhi (akal), dan dari buddhi itulah berlangsung proses
kepribadian, yakni Ahamkara, yang bermakna : Aku adalah Pelaku. Ahamkara
itu suatu proses gerakan yang terus menerus, yang secara alamiah (kosmis) dan
secara kedirian (individualis), memperlihatkan ragam-beda (differensisasi).
Secara
kommis, Ahamkara itu melahirkan lima tanmatras (unsur terhalus) yaitu :
tanah, air, api, udara, dan ether. Dari lima unsur terhalus itu lahir lima mahabhuta
(unsur tanggapan yaitu : Keras, basah, hangat, embusan, dan cairan. Dan
semuanya itu sasaran bagi indra.
Secara
individualis, Ahamkara itu melahirkan lima buddhindraya (Indria yang
merupakan alat akal) yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rabaan, dan
citarasa. Dan dari situ lahir lima karmendrya (indria untuk bertindak)
yaitu : mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah.
Tanmatras
dan buddhindrya itu punya hubungan dengan ingatan (mind) dan hubunga
itulah yang menentukan kepribadian sesuatu diri, yaitu pergumulan Hasrat dengan
Akal. Jalan satu-satunya untuk mencapai keselamatan (moksha) ialah melakukan
Yoga, karena, tubuh jasmani bisa terikat selamnya kepada karma dan samsara
sebelum tercapai moksha.[4]
1. Konsep Purusa dan Prakerti
Hubungan antara prakerti dan
purusa diterangkan sebagai suatu perkawinan. Nisbah antara prakerti dan
purusa-asali diumpamakan seperti nisbah antara isteri dan suami. Cara orang
pada zaman kuno di banyak bagian dunia di Timur dan Barat berpikir terbelenggu oleh
pikiran, bahwa rahasia dunia itu hanya dapat dipahami sebagai suatu hubungan
perkawinan. Bandingkanlah misalnya dengan pendapat orang Tionghoa tentang
unsur-unsur asali yang dan yin. Bila pada sistim Sankhya nisbah antara purusa
dan prakerti dilukiskan sebagai perkawinan maka artinya demikian: Antara purusa
dan prakerti terdapat suatu daya tarik yang mendekatkan keduanya: eros atau
cinta. Daya tarik yang mendekatkan keduanya itu sebenarnya mempunyai maksud
membebaskan purusa sama sekali. Karena segala peristiwa di dunia terjadi dari
daya-tarik itu dan karena senantiasa dengan maksud supaya purusa itu menjadi
bebas, maka di sini diajarkan, bahwa segala di dunia itu bergerak menuju ke
suatu tujuan yang telah ditetapkan (sistim telelogis: telos berarti tujuan).
Nisbah yang tersembunyi antara purusa dan prakerti, yang dapat dibandingkan
dengan nisbah antara baja dan besi berani ditujukan supaya purusa itu mengenal
hakekatnya sendiri dan menolak prakerti sebagai sesuatu yang tidak tergolong
dalam hakekatnya purusa. Dalam hal itu prakerti sendiri ikut membantu, seperti
air susu yang tidak sadar (seperti seluruh alam tidak sadar) dengan begitu saja
keluar guna kepentingan anak lembu.
Hubungan
antara prakerti dan purusa disebut “samyoga”, artinya persenyawaan atau ikatan
(sam berarti bersama dan yoga, bandingkanlah dengan lungo dalam
bahasa Latin, berarti mengikat).
Siapakah
purusa itu? Di dalam sistim-Samkhya purusa itu sesutu yang sangat halus dan
tidak dapat diberi definisinya. Segala gejala psykhis, segala yang ada pada
kita termasuk benda pengamatan ilmu jiwa, oleh Sankhya di pandang sebagai
tergolong pada prakerti. Purusa hanya penonton (sakshin) saja pada
peristiwa-peristiwa dalam. Kita dapat berkata”. Jadi pada kita ada semacam
kembaran yang tidak merasakan, tidak berpikir, berkata dan berbuat. Jadi di
dalam manusia purusa itu bukanlah yang berbuat, tetapi yang menonton. Biasanya
prakerti itu disebut materi. Tetapi itu sebenarnya lain dengan apa yang kita
namakan materi. Prakerti adalah subtansi yang universal, yang tidak diberi
bentuk, ialah alam dalam arti kata yang seluas-luasnya. Prakerti itu tidak
mempunyai permulaan dan tidak dapat dibinasakan dan bersifat satu adanya.
Adanya prakerti harus diakui, karena apa yang kita lihat itu harus bergantung
kepada sesuatu yang lebih universal dan tetap (permanen), dan karena dunia itu
menimbulkan pikiran pada kita, bahwa alam semesta itu suatu kesatuan. Jadi
ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) di sini dipergunakan untuk
membuktikan adanya prakrti. Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan
sesuatu, yang telah termuat di dalam sebabnya. Atau dengan perkataan lain:
prakrti adalah kemungkinan, di mana segala sesuatu yang ada belum diberi
bentuk. Jika alam (prakrti) itu tidak mempunyai permulaan dan tidak terbinasanakan,
maka tentulah alam itu senantiasa berubah, senantiasa giat, (aktif). Terhadap
kesatuan prakrti yang pokok terdapatlah sejumlah banyak purusa. Terhadap
kegiatan prakrti yang abadi terdapat ketenangan yang abadi, keadaan purusa yang
abadi.
Selanjutnya
di dalam prakerti terdapat ketiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattva,
Rayas,
Tamas. Semua itu disebut: guna.
Sattva ialah “adanya yang ada”. Sattva adalah
unsur asali dari segala yang terang, yang memberi cahaya dan segala yang mulia.
Sattva itu juga sesuatu yang memberi kepuasan, yang memberi ketentraman, yang
menenangkan hati manusia.
Rayas
adalah nafsu yang berkobar dan tidak dapat di kekang, ialah sesuatu yang
menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram.
Tamas
adalah kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu (yang indolen), yang muram,
merasa sedih, merasa hancur, dukacita. Anasir-anasir atau faktor-faktor pada
prakrti itu sendiri tidak dapat diamati, kita hanya dapat merasainya pada
segala yang ada ini. Seekor burung mempunyai sattva (cahaya) sebagai ciri;
tetapi harimau mempunyai rayas; ulat bercirikan tamas. Pada segala sesuatu terdapat
ketiga guna itu. Pada barang atau makhluk yang satu terdapat lebih banyak guna
macam ini, pada barang atau makhluk yang lain terdapat guna yang lebih banyak
pula. Benda atau makhluk yang dapat kita amati adalah rupa dari guna. Cahaya
adalah rupa dari sattva. Api badai, dan sebagainya adalah rupa dari riyas. Ulat
dan kuda air adalah rupa dari tamas.
Ketiga
guna itu menentukan segala peristiwa di dunia dan di dalam prakrti dalam bentuk
terbungkus, prakrti adalah hal kemungkinan, sama dengan hule di dalam
filafat Yunani.
Bagaimanakah
kita harus membayangkan hubungan (samyoga) antara prakrti dan purusa? Apabila
purusa dan prakerti itu saling dekat-mendekati, mulailah prakrti itu mencipta:
dari keadaan yang tidak terbentuk dan dari kemungkinan yang alami beralihlah
prakrti itu menjadi sesuatu yang berbentuk (rupa). Perhatikanlah, bahwa di sini
unsur yang mencipta itu adalah unsur perempuan. Purusa itu pemimpi, yang
dipengaruhi oleh lukisan-lukisan nafsu daripada prakrti. Di dalam keadaan ini
purusa itu megira bertindak sendiri dan belum mengerti, bahwa hanya prakrti
yang bertindak, sedang ia sendiri (purusa) hanya menjadi penonton saja
(sakshin). Dalam saling dekat mendekati dari prakrti dan purusa berkembanglah
kabut menyelimuti purusa, yang makin bertambah tebal.
Jika
prakrti dan purusa saling dekat mendekati, terjadilah proes yang banyak
selukbeluknya sebagai berikut:
1. Mula-mula lahirlah budi, kesadaran.
2. Unsur yang kedua ialah ahamkara, artinya sang
pembuat aku, kesadaran akan adanya suatu “ aku” (kesadaran –subyek).
3. Manas: kekuasaan untuk mengmati dan untuk memberi
reaksi terhadap apa yang telah diamati itu.[5]
2.Triguna
Prakrti
dibangun oleh triguna yaitu, rajas, dan tamas. Guna artinya unsur, atau
komponen penyusunan. Triguna itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya
itu disimpulkan atas obyek dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena
adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui
sifat-sifat guna itu dari alam yang merupakan wujud hasil dari padanya. Semua
obyek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa
senang. Susah dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman,
menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab
semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah
terkandung dalam sattva, rajas dan tamas itu.
Sattwa
adalah suatu prakrti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang
bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak
keatas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan,
kegirangan dan sebagainya.
Rajas
adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda
ini bergerak. Ialah menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran
berkeliaran kesaana kemari. Ialah yang menggerakan sattwa dan tamas untuk
melaksanakan tugasnya.
Tamas
adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasip dan bersifat negatif. Ia
bersifat keras, menentang aktifitas menahan gerak pikiran hingga menimbulkan
kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena
menentang aktifitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, tidur.[6]
Ketiga
guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling
mengsuport yang lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan “lampu minyak” yang
terdiri dari unsur nyala, unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara
sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep
penciptaan , pemeliharaan dan peniadaan, Sattwa adalah penciptaan Rajas adalah
pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakrti dicirikan oleh adanya tiga
guna diatas. Kata guna artinya adalah kwalitas atau sifat dari Prakrti, tetapi
tidak sekedar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakekat intrinsic
dari Prakrti. Guna-guna itu selalu berubah dari dalem dirinya sendiri walaupun
dalam keadaan keseimbangan, Cuma saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang
keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka guna-guna dalam
situasi gunaksobha, dimana masing-masing guna beraksi satu sama lainnya yang
diebabkan karena salah satu guna secara dominan tampil walaupun tidak
meniadakan guna-guna lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang
tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guna dibangdingkan dengan dua Guna lainnya. Dalam sesuatu yang bergerak
maka Rajas Guna dominan dari pada dua guna lainnya. Demikianlah Guna-Guna itu
bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guna-guna itu dapat di
mengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari Dunia marteriin ini,baik secara
eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang
semuanya itu memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau
seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan
seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu.
Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya,tapi akan
menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita
cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak
terlibat”kecantikan dari wanita itu menunjukkan adanya hubungan dengan
orang-orang lainnya disekitarnya, yang muncul dari Guna-guna yang ada pada
dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana
asal-usuldari semua fenomena Prakrti ang memiliki ciri-ciri yang dapatkita
temukan. Pada obyek-obyek dunia ini. Prekrti dan produk-produk yang
dihasilkannya membutuhkan guna-guna tersebut karena, prakrti dan produknya
tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Purusa. Mereka adalah
Objek sedangkan Purusa adalah Subyek. Filsafa Samkhya menyatakan bahwa
keseluruhan alam semesta ini berkembang dari guna, dimana dalam keadaan ketiga
guna itu seimbang alami disebut Prakrti dan dalam keadaan tidak seimbang
disebut sebagai Vikrti, yaitu keadaan yang heterogen. Tiga guna ini oleh filsuf
Samkhya yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari
aktifitas (alam); dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi (guru
danavarna). Guna itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam
keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan yang
lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, rajas dikatakan sebagai pusat dari
sattva dan tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya
dengan demikian rajas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan.sebaliknya
Raja juga tergantung dari Sattpa dan Tamas, karena aktifitas tidakakan terjadi
tanpa adanya obyek dan media leat mana ia beraktifitas. Dalam keadaan
memanifestasikan diri, salah satu guna mendominasi duaguna lainnya, tetapi
tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya
karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya.
Dengan pengaruh rajas maka kekuatan sattvika maka kecepatan yang tinggi dan
unit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalamtahapan tertentu
barangkal percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satusama
lainnya.kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam
waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (rajas) juga terjadi pada
Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian
guna itu secara terus menerus merubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya.
Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas
terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi
pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan
tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini
bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya
benda-benda bergerak dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun
dalam bentuk-bentuk yang halus, darimana ia memafestasikan dari dalam bentuk
keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu
tahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu
konflikyang berkesinambungan antara guna-guna itu, tapi sesungguhnya ada
kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi
yang berkesinambunganitulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus
berlangsung. Guna-guna itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian
manusia sepertihalnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.[7]
Contoh dari triguna
:
3.Evolusi
alam semesta.
Prakrti akan
mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan purusa. Melalui perhubungan
ini prakerti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya anggota badan kita dapat
bergerak karena hadirnya pikiran.
Evolusi alam semesta tidak mungkin
terjadi hanya karena purusa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat
terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena perhubungan purusa prakerti ini
adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar
hutan. Mereka bekarja sama untuk mencapai tujuannya.
Hubungan antara purusa dan prakrti
menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam triguna. Yang mula-mula tergantung
ialah rajas yang menyebabkan guna yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing
guna itu berusaha mengatasi kekuatan guna lainnya. Maka terjadilah pemisah dan
penyatuan triguna itu yang menyebabkan munculnya obyek yang kedua ini. Yang
pertama terjadi dari prakrti ialah Mahat dan Budhi. Mahat adalah benih besar
alam semesta ini sedangkan Budhi adalah unsur intelek.
Fungsi
budhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang
dari alat-alat yang lebih rendah dari padanya. Dalam keadaannya yang murni ia
bersifat dharma, jnana, vairagya dan aiswarya yaitu kebijakan, pengetahuan,
tidak bernafsu dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahamkara atau
rasa aku adalah hasil prakrti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan
merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahamkara ialah merasakan rasa
aku. Dengan ahamkara sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, yang
bermilik.
Ada tiga macam ahamkara seuai
dengan guna mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahamkara itu disebut
sattwika bila unsur sattwa yang unggul, rajasa bila rajas yang unggul dan
tamasa bila tamas yang unggul.
Dari sattvika timbullah panca
jnanendriya, panca karmendriya dan manas. Dari tamasa lahirlah panca tanmatra
sedangkan rajasa memberikan tenaga baik pada sattwika maupun tamasa untuk
merubah mana berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.
Panca tanmatra adalah sari-sari
benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang
akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat dikenal karena
amat halusnya.
Dari benih suara
terjadilah Akasa.
Dari benih sentuhan
dan suara terjadilah udara.
Dari benih warna,
suara dan sentuhan terjadi cahaya atau api.
Dari benih suara,
sentuhan dan warna terjadi air.
Dan dari benih baru
dan empat tanmatra yang lain terjadi bumi.
Dari semua anasir kasar itu
berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini
tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti perkembangan mahat. Alam semesta
ini dengan segala isinya, namun perkembangan mahat. Alam semesta adalah
benda-benda yang dijadikan bukan benda-benda yang menjadikan.
Suatu
azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai
disitu, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang
menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian
moral, kenikmatan dan kesusahan hidup ini. Evolusi prkrti menjadi dunia obyek
memungkinkan roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatanya.
Namun tujuan akhir evolusi prakrti ialah kelepasan.[8]
4.Ajaran tentang kelepasan.
Hidup
didunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat
dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang
dapat menghindari diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindari
diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu
adhyatmika, adhibautika, dan adhidaiwika.
Adhyatmika adalah sakit karena sebab-sebab
dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan
gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Dengan
demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rokhani seperti sakitkepala, takut,
marah, dan sebgainya.
Adhibautika adalah sakit yang disebabkan oleh
faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya.
Dan adidaiwika adalah sakit karena tenaga
gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
Tidak
ada seorangpun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas
dari susah dan sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih
berbadan lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan.
Dengan demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup
hidup biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar
pikiran sehat.
Dalam
ajaran samkya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua
penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari
penderitaan sepenuh-penuhnya. Samkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan
itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini.
Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan
orang menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan
tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya
pada kesedihan. Berbeda halnya orang-orang yang berpengetahuan akan menerima
dan menikmati kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak lepas dari
penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan orang
akan kenyataan itu sudah sempurna.[9]
Dalam Sankhya dan Yoga,
pertentangan filsafat dan kosmologi sel kehidupan dualistik pra-Arya dengan
materi kehidupan di alam semesta akhirnya bisa disatukan menjadi ortodoksi
Brahman. Pertentangan ini bahkan menjadi salah salah satu bagian terpenting
dalam tradisi filsafat Hindu klasik yang komperhensif. Namun demikian, Kapila,
pendiri mitis ajaran sankhya, mula-mula dianggap heterodoks, dan tidak ada
nama-nama guru Brahman garis Vedic yang tampak di antara para penjelas Sankhya
dan Yoga awal. Pada kenyataan, ketidak kompatibilitasan mendasar idealisme
non-ganda Vedanta dengan realisme dualistik-pluralistik Sankhya dan Yoga masih
dapat dirasakan bahkan dalam Bhagavad Gita, meskipun sebenarnya salah
satu ciri pokok kitab sintesis yang agung ini adalah pemakaian bahasa-bahasa
dari dua tradisi yang bertentangan itu secara berdampingan untuk menunjukan
bahwa keduanya pada hakikatnya tidak berbeda. Pada abad ke-15, dalam Vedantasara,
dan lagi-lagi pada abad ke-16, dalam tulisan-tulisan Vijnanbhiksu, dua
filsafat tersebut dipaparkan secara berurutan yang menunjukkan bahwa keduanya
menguraikan seebuah kebenaran dari dua sudut pandang yang berbeda. Senyatanya,
para pendukung dua aliran ini di india telah berdamai selama berabad-abad
dengan saling meminjam konsep-konsep pokok untuk menguak misteri jalan menuju
ke tujuan yang sama, yakni moksa.[10]
Daftar Pustaka
[1] Joesoef Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra,
1996) cet 3
2 Harsa Swabodhi, BUDDHA DHARMA&HINDU DHARMA, (Sumatra Utara
:Yayasan Perguruan “BUDAYA”)
3. Dr.A.G.HONIG Jr. ILMU AGAMA,( Jakarta, Gunung mulia, 1997)
.4
I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990)
6 Heinrich Zimmer, sejarah filsafat INDIA, (celeban timur UH III/548
Yogyakarta 55167), 2003
[1] Joesoef Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra,
1996) cet 3, h-59
[2] Harsa Swabodhi, BUDDHA DHARMA&HINDU DHARMA, (Sumatra Utara
:Yayasan Perguruan “BUDAYA”),h-11
[3] Heinrich Zimmer, sejarah filsafat INDIA, (celeban timur UH III/548 Yogyakarta
55167), 2003 h-583.
[4] Joesoef Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra,
1996) cet 3, h-60-61.
[5] Dr.A.G.HONIG Jr. ILMU AGAMA,( Jakarta, Gunung mulia, 1997)h-128-131.
[6] I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma
sarath, 1990),h-47.
[8] I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma
sarath, 1990),h-50-51.
[9] I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma
sarath, 1990),h-53.
[10] Heinrich Zimmer, sejarah filsafat INDIA, (celeban timur UH III/548
Yogyakarta 55167), 2003, h-303.
0 komentar:
Posting Komentar