Pendahuluan
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan
agama yang pertama dikenal oleh manusia. Perkembangan agama Hindu di India,
pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, zaman
Brahmana, zaman Upanisad dan zaman Budha.
Zaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada
di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi,
setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi
Dekkan. Bangsa
Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni,
Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun
semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang
Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang
disebut "Rta". Pada zaman
ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada zaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana
amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan
persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Zaman Brahmana ini ditandai pula mulai
tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab
Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan
tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di
dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada zaman Upanisad, yang
dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih
meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir
rahasia alam gaib. Zaman
Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada zaman ini muncullah ajaran filsafat yang
tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan
Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
2. Zaman Brahmana
Agama
Brahmana bersumber kepada kitab Brahmana, yaitu bagian kitab Weda yang kedua.
Kitab ini ditulis oleh para imam atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya
memberi keterangan tentang korban. Hal ini disebabkan karena zaman ini adalah
suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya kepada korban.
Pada
zaman Brahmana ini memang timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman
ini adalah:
1. Korban mendapat tekanan yang berat
2. Para Imam (Brahmana) menjadi golongan yang paling berkuasa.
3. Perkembangan kasta dan kasta
4. Dewa-dewa berubah perangainya
5. Timbulnya kitab sutra[1]
1. Masalah Korban
Pada zaman weda purba korban masih menjadi
alat untuk mempengaruhi para dewa, agar mereka berkenan menolong manusia. Namun
pada zaman itu juga sudah tampak gejala-gejala magi, yaitu bahwa korban
dipandang sebagai alat untuk memaksa para Dewa menolong manusia. Jadi
sebenarnya korban itu sendiri sudah dipandang sebagai memiliki daya magis, yang
lebih kuasa dari pada para Dewa.[2]
Tujuan utama
upacara korban dalam agama weda ini adalah terjaminnya tata tertib kosmos.
Pelasanaan korban dipimpin oleh pendeta yang membujuk dan merayu para dewa untuk mengabulkan permohonan
manusia. Dua macam upacara korban simbolik
yang terpenting adalah: pertama korban manusia (purusa), sebagaimana
tercantum dalam kidung kosmogonik dalam kitab Rigweda, yang menyebutkan bahwa
yang maha tinggi telah menjalani korban untuk penciptaan, dan kedua adalah
korban sarwaweda dimana
manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa
melimpahkan segala miliknya kepada seluruh
manusia. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala
keluarga yang diselenggarakan di api keluarga.
Korban besar diuraikan dalam srauta-sutra.
Di antara korban besar yang terpenting ialah korban kuda (aswameda). Korban
aswameda dimulai dengan menyajikan makanan kepada para brahmana. Menurut
ketentuan, korban ini diikuti dengan membagi-bagikan sejumlah besar lembu dan
beberapa keeping uang mas.
Korban kecil banyak di uraikan dalam Gringhya-sutra.
Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api
suci yang ditaruh di setiap rumahtangga. Korban kecil lainnya adalah naimittika
yang biasanya dilakukan sehubungan dengan siklus kehidupan. Korban ini
sering diselenggarakan pada waktu akan menerima tamu penting, waktu anak masih
berada dalam kandungan, saat kelahiran, pemberian nama dan pada siklus-siklus
kehidupan manusia lainnya.
Upacara korban tersebut sebenarrnya
bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya. Korban disini bukan lagi
berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan hubungan antara manusia dengan
dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja. Dalam perkembangan
selanjutnya, ajaran korban dalam agama Brahmana ini sangat dikecam oleh ajaran
Upanishad.
Demikian
besar fungsi korban sehingga korban menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan
atas dunia sekarang dan akhirat, atas yang tampak dan yang tak tampak, atas
yang bernyawa dan yang tak bernyawa. Barang siapapun yang berhasil memperoleh
daya itu, ialah Tuhan dunia.[3]
Bahkan dikatakan bahwa penciptaan Dunia itu hasil dari adanya korban yang
dilakukan oleh dewa yang tertinggi, yaitu Prajapati atau Brahma. Bahkan lebih
dari itu korban dilepaskan dari Dewa-dewa, dijadikan suatu daya yang berdiri
sendiri, yang senantiasa berada dimana-mana yang dapat dipergunakan sebagai
jembatn manusia menuju kebahagiaan.[4]
2. Kasta
Perbedaan susunan masyarakat Hindu dari masyarakat lain di dunia ini karena
adanya golongan-golongan yang eksklusif dan berdiri sendiri dalam masyarakat
mereka, golongan-golongan ini disebut kasta. Tiap kasta mempunyai kedudukan
sosial yang sangat tajam batas-batasnya, batas-batas mana diasaskan pada
Hinduisme. Hanyalah asal kelahiran yang menentukan kedudukan sesuatu golongan
dan seseorang dalam masyarakat Hindu, yang tidak dapat diubah oleh prestasi
apapun dalam hidup seseorang. Perbedaan besar antara mesyarakat Hindu dengan
golongan-golongan bangsa-bangsa lain ialah: bahwa perbedaan derajat yang
ditimbulkan asal kelahiran ini dapat berubah ole adanya prestasi seseorang
dalam hidupnya, sedang masyarakat Hindu percaya bahwa pembedaan derajat itu
berakar dalam prinsip-prinsip yang tidak dapat diubah sama sekali.
Golongan kasta yang utama adalah :
1. Brahmana, yang terdiri
dari golongan pendeta dan ulama-ulama.
2. Ksatrya terdiri dari
perwira balatentara, dan pegawai negeri.
3. Waisya, yaitu kaum buruh,
tani, dan saudagar.
4. Sudra, yaitu hamba
sahaya dan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan yang hina.
Perlu diketahui bahwa anggota-anggota keempat kasta tadi, tidak sudi
terhadap satu sama lainnya. Mereka tidak diizinkan berhubungan antara yang satu
dengan yang lain dengan begitu saja, misalnya dalam perkawinan antara
orang-orang dari kasta yang berlainan.
Di bawah katagori yang keempat tadi, masih ada golongan ke-lima yaitu
golongan Paria yang biasa disebut dengan outcast. Golongan ini hampir tidak
dapat dinamakan suatu suatu kasta dan malah tidak boleh didekati.
Anggota-anggota kasta yang empat tadi tidak boleh berhubungan langsung dengan
anggota-angngota golongan ini[5]
3. Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam Agama
Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup yang harus diakui oleh setiap
orang penganut agama tersebut.
Hidup manusia dibagi menjadi empat Asrama
atau tingkatan hidup, yaitu:
Ø Brahmacarya, yaitu tahap menjadi murid, seorang anak akan
meninggalkan rumah orangtuanya dan menetap sebagai siswa (sisya)
dikediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab veda dan pengetahuan
keagamaan lainnya.
Ø Grhastha, tahap menjadi kepala keluarga, setelah anak tersebut
menuntut ilmu anak tersebut segera pulang dan kawin.
Ø Wanaprastha, atau tahap menjadi penghuni hutan (pertapa), tingkatan
ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia
lanjut.
Ø Sannyasa, atau tahap hidup penyangkalan, yaitu tingkat pertapa
yang telah lepas dari kehidupan dunia
4. Dewa-dewa
Agama Hindu pada pokoknya tidak mempercayai adanya
Tuhan dalam arti kata yang sebenarnya, seperti dalam pengertian kita umat
Islam. Unsur-unsur kepercayaan kekuatan gaib, tidak tegas malah menurut
filsafat wedanta, semua benda ini hanyalah khayal belaka, pada hakekatnya semua
itu Tuhan.
Kekuasaan gaib yang tidak berwujud ini tidak dapat
digambarkan dalam pikiran, karena dorongan untuk mengenal kekuasaan yang tak
kelihatan ini, maka orang Hindu mewujudkannya dengan TRIMURTI yang terdiri dari
sang Brahmana, Wisynu dan Syiwa. Brahma ialah pencipta alam semesta, wisnu
adalah dewa pelindung dan siwa adalah dewa pembinasa. Pada dasarnya ketiganya
adalah wujud dari satu ke Tuhanan.
a. Brahmana
Dewa Brahma mempunyai empat buah kepala yang melihat
ke segala penjuru. Ini adalah satu tanda yang menyatakan kebijaksanaannya.
Ialah pencipta segala sesuatu dan isterinya Saraswati adalah Dewi Kesenian.
Dewa Brahma sekarang tidak lagi dipandang sebagai dewa yang terutama. Di
seluruh India hanya ada sebuah candi Brahma yaitu di Pusykar.
Dewa Wisynu makin lama makin banya pemujanya karena ia
diwujudkan sebagai dewa yang penyayang yang bertangan empat. Di tempat
tidurnya berbaring seekor ular bernama Ananta, yang mempunyai seribu kepala. Ia
hanya tertidur bila mendengar doa-doa dewa yang lain, mereka memerlukan seorang
juru pemisah dan penolong, untuk menjaga seluruh alam, karena kadang-kadang
terancam oleh kekuasaan-kekuasaan jahat.
b. Wisynu
Menurut kepercayaan Hindu, Wisynu menjelma sepuluh
kali untuk menolong dunia ini. Sembilan dari penjelmaan telah berlaku, akan
tetapi penjelmaan yang kesepuluh masih akan tiba.
Kesepuluh penjelmaan (avatara) itu ialah sebagai:
a.
Ikan
b.
Kura-kura
c.
Babi
d.
Singa berkepala manusia
e.
Korcaci (orang kate)
f.
Parasuratna (seorang Brahmana)
g.
Rama
h.
Krisyna
i.
Buddha Gautama
j.
Kalki
Semua penjelmaan ini gunanya untuk menolong dunia dan
manusia.
c. Syiwa
Dewa Syiwa diwujudkan sebagai seorang pengemis
kayangan dan sebagai seorang pelancong yang suka bergaul dengan hantu dan orang
halus yang selalu berkeliaran di tempat-tempat pembakaran mayat di gurun pasir.
Ia tak mempunyai istana, sebab ia diam bersama istri-istrinya di Durga di atas
gunung Kailasa di pegunungan Himalaya. Menurut orang Hindu hal ini adalah
akibat dari pada sumpah dewa Brahma karena Syiwa telah memancung salah sebuah
kepala Brahma ketika timbul pertengkaran antara keduanya tentang kekuasaan.
Ia menjadi Dewa dari orang-orang pertama dan mereka
yang telah menguasai hukum-hukum alam. Binatang kendaraannya Nandi pun dipuja
orang. Istrinya mempunyai beberapa nama: Pati, Durga, Kali, Sakti, Uma, dan
sebagainya. Anak mereka ada dua orang yaitu Ganesya dan Kartikaya.
Dari kedua anak Syiwa ini, Ganesyalah yang lebih
dihormati orang. Ia adalah dewa kecerdasan dan kesabaran. Ia berkepala gajah
dan berbadan manusia. Hal inipun adalah akibat sumpah dari Dewa Brahma.
Kartikaya, anak bungsu adalah Dewa peperangan
Ibadat dan pemujaan tidaklah hanya dihadapkan kepada
mahadewa Brahma, Wisynu dan Syiwa tetapi lebih dahulu langsung kepada tenaga
dan daya alam yang dianggap sebagai dewa, yang langsung mempengaruhi kehidupan
manusia. Tenaga dan kekuatan alam inilah yang sebenarnya dipuja. Nama dari
masing-masing dewa itu adalah daya alam itu sendiri. Diantara dewa-dewa itu
ialah:
1.
Surya (Dewa Matahari)
2.
Agni (Dewa Api Suci)
3.
Wayu (Dewa Angin)
4.
Candra (Dewa Bulan)
5.
Waruna (Dewa Alam/Angkasa)
6.
Marut (Dewa Badai/Topan)
7.
Paryania (Dewa Hujan)
8.
Acwin (Dewa Kembar atau Dewa Kesehatan)
9.
Usa (Dewa Fajar)
10. Indra (Dewa Perang)
11. Westra (Dewa Jahat)
Diantara semua dewa-dewa itu yang terutama sekali dan
paling banyak mendapat puji-pujian ialah dewa Indra dan Agni. Dewa indra
dipandang juga sebagai dewa rahmat yang membawa kebahagian. Dewa indra juga
mendapat julukan dengan sebutan “puramdara” yaitu dewa penggempur benteng. Hal
ini mengingatkan mereka ketika bangsa Arya mula-mula dating kelembah Sindhu
dengan peperangan, bertemu dengan bangsa Dravida yag bertahan dalam Sembilan
puluh benteng, akhirnya bangsa dravida dapat dikalahkan. Bagi bangsa arya
kemenangan ini sebagai pertolongan dari dewa indra.
Dewa Indra adalah dewa yang terus menerus berperang
menggempur dewa wertra, yaitu dewa jahat yang selalu menahan air hujan dalam
gumpalan-gumpalan awan. Dewa pertolongan Indra memaksa wertra akhirnya hujan
turun ke bumi.
Dalam memuja Dewa Indra, biasa dipersembahkan saji
yang berisi soma, yaitu semacam minuman dari getah tumbuh-tumbuhan candu yang
biasa memabukkan. Maksud saji ini agar Dewa Indra terus berperang dalam keadaan
mabok dan tak peduli, sehingga Wertra dapat dikalahkannya.
Dewa kedua yang dianggap mulia dan lebih banyak dapat
pujaan ialah dewa api (agni), karena agni sebagai sahabat bagi manusia dalam
hidupnya. Di dalam setiap rumah sudah tentu dibutuhkan api untuk memasak, untuk
penerangan dan pemanas. Pada setiap upacara pemujaan, api tidak boleh
ketinggalan, api menjadi syarat utama.
Pada waktu upacara pemujaan dewa yang disembah dimohon
agar turun, duduk di atas selembar tikar kuca (tikar rumput) yang dibentangkan,
lalu barang-barang sajian dimasukkan ke dalam api, sebagai khayalan bahwa
sajian ini dimasukkan ke dalam mulut dewa.
Selain kepada Dewa Indra dan Agni ada juga dilakukan
pemujaan, menurut kebutuhan masing-masing yang memuja. Dan bagi tiap-tiap
keluarga dan rumah tangga, kepala keluargalah yang berkewajiban melakukan saji
dalam pemujaan menurut apa yang dibutuhkan oleh keluarganya.
Hanya pada ketika memuji dan memuja suatu dewa dalam
memohon kebutuhan dan hajat, si pemuja hendaklah meletakkan suatu kepercayaan
dalam hatinya, bahwa tidak ada suatu dewa yang lain selain dewa yang
disembahnya itu.[6]
Sutra-sutra
Pada zaman ini mulailah timbul kitab-kitab sutra,
yaitu kitab-kitab pedoman yang berisi petunjuk-petunjuk tentang banyak hal, dan
yang ditulis dalam kalimat-kalimat yang pendek. Kitab-kitab ini tidak tergolong
Weda, melainkan termasuk kitab-kitab yang disebut Wedangga, atau anggota
Weda. Isinya membicarakan hal ilmu bahasa, upacara, tata bahasa, ilmu
pengetahuan tentang soal dan arti kata, dan lain sebagainya.
5. Kaum Pendeta
Brahmana adalah salah satu golongan karya
atau warna dalam Agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu
menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di zaman dahulu,
golongan ini umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau Brahmin. Kaum Brahmana
tidak suka kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makhluk
berdarah (bernyawa). Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang
vegetarian. Brahmana adalah golongan karya yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan baik
pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah secara umum.[7]
3. Zaman Upanishad
Hidup keaagmaan pada zaman ini
bersumber kepada bagian Weda, yaitu kitab-kitab Aranyaka dan Upanishad. Kitab-kitab Aranyaka disusun oleh para pertapa yang berada didalam hutan
(aranya). Isinya pada umumnya membicarakan teman-teman dan hal-hal yang juga
dibicarakan didalam kitab-kitab Upanishad. Kedudukunnya ada diantara
kitab-kitab Brahmana dan Upanishad.[8]
a) Brahman
a. Pengertian Brahman sebenarnya sudah dikenal pada zaman Agama Weda
samhita. Mula-mula Brahman adalah ilmu atau ucapan yang suci, suatu nyanyian
atau mantra, sebagai pernyataan yang konkrit dari hikmat rohani. Tetapi
kemudian Brahman adalah doa, atau daya yang beradadidalam doa. Pada dirinya
sendiri doa itu dipandang sebagai sudah memiliki kasekte, sudah mengandung sari
dari hal-hal yang disebut didalam doa tadi.
Di dalam Agama Upanishad, Brahman dianggap
sebagai yang menyebabkan segala gerakan dan perubahan Brahman menjadi semacam
“jiwa alam semesta”[9]
b) Atman
Di
dalam Weda samhita atman diartikan: nafas, jiwa dan pribadi. Di dalam
kitab-kitab brahmana dinyatakan bahwa atman adalah pusat segala fungsi jasmani
dan rohani manusia. Di dalam Upanishad disebutkan, bahwa pengihatan,
pendengaran dan sebagainya satu persatu meninggalkan tubuh untuk mengetahui
siapa dari fungsi-fungsi hidup itu yang terpenting. Akhirnya diketahui bahwa
yang terpenting adalah nafas, atman. Dengan ini dijelaskan bahwa atman adalah
hakikat manusia yang sebenarnya.
c) Karma
selanjutnya Upanishad mengajarkan
bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik manusia, binatang
maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi
kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Alasan mengapa semua benda
yang hidup terus menerus dilahirkan kembali adalah karma, hukum sebab akibat.
Orang hindu percaya bahwa karma yang menumpuk dalam kehidupan sebelumnya pindah
ke masa kini dan sangat menentukan wujud kelahiran jiwa kembali.[10]
d) Reinkarnasi
Reinkarnasi disebut juga samsara, dalam Upanishad juga
mengajarkan tentang samsara, yaitu bahwa kehidupan bukan saja akan berakhir
dengan kematian, tetapi kematian pun akan berakhir dengan kematian, tetapi
kematianpun akan berakhir dengan kehidupan. Artinya yang hidup akan mati dan
yang mati akan hidup lagi, demikian seterusnya.tinggi rendahnya kehidupan yang
kemudian tergantung pada karman. Perbuatan baik yang lebih banyak
daripada perbuatan buruk akan mengakibatkan karman yang baik sehingga kehidupan
baru itupun akan lebih baikdaripada kehidupan yang sebelumnya.
Samsara adalah perputaran kelahiran kembali atau disebut juga
Reinkarnasi. Hanya manusia yang telah mencapai atman yang mulia dan yang tahu
akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa.
Orang semacam ini akan terlepas dari keterikatan dengan proses ulang kelahiran
kembali atau samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan
menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa atman adalah Brahman
sehingga dapat sampai pada pengetahuan yang sejati (jnana). Barang siapa
mencapai tingkatan ini ia akan mencapai moksa, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa
segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan
berhak disebut sebagai jiwanmukta.[11]
e) Moksa
Dalam agama Hindu kita percaya adanya panca
Sradaya yaitu lima keyakinan yang terdiri dari: Brahman, Atman, karma pala,
reinkarnasi dan moksa. Moksa berasal dari kata sansekerta dari akar kata “MUC”
yang artinya bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan mukti
artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagiaan rohani yang langgeng.
Jadi
moksa adalah suatu kepercayaan adanya
kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan Brahman. Kalau orang sudah
mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma
dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi).[12]
Daftar pustaka
·
Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia,
IAIN sunan kalijaga press, Yogyakarta:1988
·
Arifin
M. Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, Golden Trayon Press,
Jakarta: 2002.
·
Abdul Manaf Mudjadid, sejarah
Agama-agama, Rajawali press,
Jakarta: 1996.
·
Michael keene, Agama-agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta: 2006.
·
Harun hadiwijono, Agama Hindu dan budha,
BPK Gunung mulia, Jakarta: 1987.
·
C.J. Bleeker, Pertemuan Agama-agama
Dunia, sumur Bandung: 1964
·
Moh.
Rifai, Perbandingan Agama-agama, Semarang :
Wicaksono 1984 hal 79-80
[3] C.J. Bleeker, Pertemuan Agama-agama Dunia,
sumur Bandung, 1964, hlm. 7
[4]
Abdul Manaf Mudjadid, sejarah Agama-agama,
Jakarta, 1996, hlm. 12
[8] Harun hadiwijono, Agama Hindu dan budha, BPK
Gunung mulia, Jakarta, 1987, hlm. 20
[9]Abdul Manaf Mudjadid, sejarah Agama-agama,
Jakarta, 1996, hlm. 17
[10] Michael keene, Agama-agama Dunia, Kanisius,
2006, hlm. 19
[11] Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia, IAIN sunan kalijaga
press, 1988. Hlm. 75
0 komentar:
Posting Komentar