MAKALAH
TOPIK
IX
Sad Darsana (Nyaya dan Mimamsa)
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hinduisme
Dipresentasikan pada Kamis, 22 Nopember 2012
oleh:
Fadhilati
Haqiqiyah (1111032100028)
Dosen
pembimbing:
Ibu
Siti Nadroh
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENDAHULUAN
Ilmu
Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan
nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan.
Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut
dengan Darsana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai
kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda.
Sistem
filsafat india terdiri dari dua golongan, yaitu: golongan astika (ortodoks) dan
dolongan nastika (heterodoks). Yang termasuk golongan astika ialah golongan
yang mengakui kedaulatan weda, sedangkan golongan nastika ialah golongan yang
tidak mengakui kedaulatan weda. Adapun yang termasuk golongan astika
diantaranya yaitu: nyaya, waisesika, sankhya, yoga, purwa mimamsa, dan uttara
mimamsa atau wedanta. Golongan yang termasuk dalam Nastika
yaitu: Carvakas, Buddhis, Jaina. Pada topik kali ini akan dibahas mengenai dua
dari kelompok astika yaitu, Nyaya dan Mimamsa.
PEMBAHASAN
1. Nyaya
Nyaya artinya suatu penelitian yang
analitis dan kritis. Oleh karena itu sistem Nyaya membicarakan bagian umum
filsafat dan metode untuk mengadakan penelitian yang kritis.[1]
Sistem Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pikir dalam
usaha mereka mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan
melaksanakan upacara-upacara korban. Dari
hal itu timbullah kemudian patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang
benar dan logis. Atas dasar ini maka Nyaya disebut juga Tarkawada yaitu ilmu
berdebat.[2] Atau Vadavidya yaitu pengetahuan tentang diskusi.[3]
Pendiri ajaran ini adalah Mahersi Gautama (Gotami), hidup pada abad ke 4 SM
yang mana hasil karya tersebut disebut dengan Nyayasutra yang terdiri
atas lima Adhayana (bab) dan dibagi ke dalam lima “pada” atau bagian.[4] Dikatakan pula bahwa ajaran filsafat Nyaya disebut realistis karena
mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Ajaran yang realistik ini
mendasarkannya pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.[5]
Nyaya memiliki tipe filsafat yang analitis serta menjunjung tinggi akal
sehat dan sains. Ciri khas sistem Nyaya adalah penggunaan metode sains, yakni
pemeriksaan logis dan kritis. Dalam studi klasik tentang Hinduisme, terdapat
lima subjek yakni: sastra (kavya), drama (namaka), retorika (alamkara), logika
(tarka) dan tata bahasa (vyakarana). Studi apapun yang kemudian akan diambil
oleh si pelajar, ia harus mengambil studi awal tentang logika yang merupakan
dasar bagi semua studi lainnya. Setiap sistem filsafat Hindu menerima prinsip
dasar logika Nyaya. Jadi sistem Nyaya berfungsi sebagai sebuah pengantar bagi
semua filsafat sistematis.
Dalam arti sempit Nyaya berarti penalaran silogistis. Sedangkan dalam arti
lebih luas, Nyaya berarti pemeriksaan objek melalui bukti-bukti. Karenanya
Nyaya menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan yang benar (Pramanashastra).
Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi: subjek pengenal (pramatr),
objek (prameya), kondisi hasil dari pengenalan (pramiti), sarana
pengetahuan (pramana). Hakikat pengetahuan, sah atau tidak sahnya
tergantung pada unsur ke-empat yaitu pramana. Setiap tindakan kognitif
(sah atau tidak sah) melibatkan tiga unsur, yakni: subjek pengenal, isi atau
apa yang disadari oleh subjek, dan hubungan antara keduanya, yang dapat
dibedakan walaupun tidak dapat dipisahkan. Nyaya bukan hanya merupakan logika
formal semata, tapi juga sebuah epistimologi penuh yang menggabungkan diskusi
tentang psikologi dan logika, metafisika dan teologi.[6]
Sistem Nyaya telah ada sebelum Masehi, tetapi susunan ajarannya yang
sistematis terdapat kurang lebih tahun 150 SM. Dilihat dari sejarahnya ada dua
mazhab, yaitu Nyaya kuno dan Nyaya baru. Nyaya kuno mengutarakan logika.
Sedangkan Nyaya baru membicarakan teori ilmu pengetahuan. Kitab suci utamanya
adalah Nyayasutra. ayat pembukaan dari Nyayasutra mengatakan
bahwa kebahagiaan mutlak dapat diperoleh dengan pengetahuan mengenai kodrat
sejati dari 16 kategori, yakni:
No.
|
No.
|
||
1.
|
Pramana (Pengetahuan yang benar)
|
9.
|
Nirnaya (Pengetahuan tentang kebenaran penentuan)
|
2.
|
Prameya (objek pengetahuan)
|
10.
|
Vada (Diskusi)
|
3.
|
Samsaya (bimbingan)
|
11.
|
Jalpa (Perdebatan atau perselisihan)
|
4.
|
Prayojana (Maksud)
|
12.
|
Vitanda (Pertengkaran tentang hal-hal yang kecil)
|
5.
|
Distanta (Contoh yang dikenali)
|
13.
|
Hetvabhasa (Buah pikiran yang tidak benar)
|
6.
|
Siddhanta (Prinsip ajaran yang tetap)
|
14.
|
Chala (Pemutaran Lidah)
|
7.
|
Avavava (Anggota-anggota imu logika)
|
15.
|
Jati (Tujuan yang sia-sia)
|
8.
|
Tatka (Pembantahan)
|
16.
|
Nigrasthana (Perselisihan tentang prinsip)
|
Ke- 16 topik tersebut dapat
digunakan untuk menggali kebenaran. Topik 1-9 berurusan dengan logika, topik
10-16 berfungsi mencegah atau menghapuskan perbuatan kesalahan.[7] Objek-objek yang diamati
Prameya, ada 12 (dua belas), diantaranya:[8]
No.
|
No.
|
||
1
|
Roh (atman)
|
7
|
Kegiatan (Pravirthi)
|
2
|
Badan (Sarira)
|
8
|
Kesalahan (dosa)
|
3
|
Indriya
|
9
|
Perpindahan (pratya bhava)
|
4
|
Objek indriya (artha)
|
10
|
Buah/hasil (Phala)
|
5
|
Kecerdasan (buddhi)
|
11
|
Penderitaan (Duhkha)
|
6
|
Pikiran (manas)
|
12
|
Pembebasan (Apawarga)
|
Nyaya berpangkal pada keyakinan
bahwa dunia di luar kita itu berdiri sendiri, lepas daripada pikiran kita. Kita
dapat mempunyai pengetahuan tentang dunia luar kita itu, yaitu dengan perantaraan
pikiran kita. Dalam usahanya untuk mengetahui dunia di luarnya, pikiran dibantu
(melalui perantara) oleh indera kita. Karena pendirian yang demikian ini maka
sistim Nyaya dapat disebut sistim yang realistis. Apakah pengetahuan kita
berlaku (benar) atau tidak, hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai
untuk mendapatkan pengetahuan tadi. Alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan disebut pramana, sedang pengetahuan yang berlaku atau yang
benar prama.[9]
Dalam Nyaya ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan
pengetahuan yang benar, diantaranya ialah:
Alat yang dipakai untuk mengamati sesuatu dibedakan menjadi dua
yaitu:
a.
Pengamatan
melalui panca indera
b.
Pengamatan
yang bersifat transenden atau yang luar biasa
Contoh: seorang Yogi dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat diamati
oleh indera orang biasa. Ini disebabkan karena seorang Yogi dapat berhadapan
dengan sasaran yang mengatasi indra manusia. Kekuatan seperti itu dimiliknya
karena mempunyai menguasai dan menghubungkan prana pada dirinya dengan prana
pada makrokosmos.
Disamping alat untuk mengamati, maka proses pengamatan itu
dibedakan pula menjadi dua yaitu:
a.
Nirwikalpa
yaitu pengamatan yang tidak ditentukan.
Contoh: kita dapat mengamati sesuatu tanpa mengetahui volume,
berat, warna dan jenis dari obyek yang diamati.
b.
Sawikalpa
yaitu pengamatan yang ditentukan atau dibeda-bedakan.
Contoh:
kita mengamati suatu obyek yang menjadikan kita tahu dan mengerti secara betul
tentang sasaran (obyek) yang diamati, baik ukurannya, sifatnya, maupun
jenisnya. Dengan demikian melalui sawikalpa memungkinkan kita mendapatkan
pengetahuan yang benar. Pengetahuan itu dikatakan benar bila keterangan atau
sifat yang dinyatakan cocok dengan obyek yang diamati.
Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan
bahwa obyek yang tidak ada maupun yang tidak nyata juga dapat diamati.
Contoh: adanya
daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau. Jika
kita mengamati daun yang tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak
adanya warna hijau.
Jadi
ketidakadaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini menunjukkan
bahwa tidak ada pun dapat diamati pula.[11]
Dalam buku Harsa Swabodhi manyatakan
bahwa Pratyaksa Pramana itu mengadakan penglihatan atau pengamatan langsung
untuk mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu (benda/hal):
a. Pengamatan perasaan c. Kesadaran diri sendiri
b. Pengamatan jiwa d. Intuisi. [12]
2. Anumana ialah
pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan menarik pengertian
dari tanda-tanda yang diperoleh[13]
Ini
merupakan ajaran terpenting diantara empat cara yang diajarkan oleh Nyaya.
Pengetahuan yang didapat secara silogisme merupakan sesuatu yang terdapat
diantara pengamat dengan obyek yang diamati.
Contoh:
Ø Di tempat yang jauh dari kita dapat melihat ada asap mengepul, maka
dapat kita simpulkan bahwa sebelum asap itu tentu ada sesuatu yang terbakar
oleh api. Atau dengan asap kita tahu bahwa di sana juga ada api, karena asap
dan api memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.
Ø Secara nyata kita tidak dapat melihat udara maupun oksigen (O2)
yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan. Bila kemudian
kita melihat makhluk dapat hidup di dalam air seperti tumbuh-tumbuhan atau
plankton, maka kita dapat simpulkan bahwa di dalam air itu tentu ada udara atau
O2.
Mendapatkan pengetahuan melalui silogisme tidak
dapat dilakukan tanpa bantuan pengetahuan yang lain. Misalnya seperti contoh
dia atas, “asap tidak terpisahkan dengan api; hidup tak terpisahkan dengan O².
Karena penyimpulan tanpa bantuan pengetahuan lain akan menjadikan pengetahuan
yang salah.
Dalam Anumana pramana paling sedikit harus ada
tiga syarat, yaitu:
a.
Paksa: Suatu kesimpulan yang ditarik.
b.
Sadhya: objek yang ditarik kesimpulannya.
c.
Lingga: Tanda dan benda yang tidak dapat
dipisahkan dengan kesimpulannya termasuk pengetahuan pembantu.[14]
Ada empat sarana yang digunakan dalam Anumana,
yaitu:
a.
Purvavat, yakni kesimpulan dari sebab kepada
akibat, meliputi sebab-sebab materi, formil, dan instrumental.
Contoh: adanya awan gelap, itu menandakan akan
terjadinya turun hujan.
b.
Samanyata darsta, yakni sebab dari alasan-alasan
yang masuk akal pada prinsip-prinsip yang abstrak sifatnya. Yaitu tidak
terlihat namun terasa efeknya.
Contoh: terjadinya siang dan malam, itu karena
proses matahari yang mengelilingi bumi pada porosnya.
c. Sevavat, yakni kesimpulan dari suatu sebab yang terdiri atas 5 bagian,
yaitu:
1.
Prajijna (dalil), misalnya terdapat api di
gunung,
2.
Hetu (sebab), sebab di gunung ada asap
3.
Drstanda, jadi dimana ada asap disana ada api
4.
Upanaya, penggunaan atau aplikasi dari logika
itu
5.
Nigamana, kesimpulan.[15]
Contoh: adanya banjir itu merupakan akibat
dari turunnnya hujan. Maka dapat dikatakan bahwa banjir merupakan akibat, dan
hujan merupakan sebab dari kejadian.
Contoh: seseorang yang tidak tahu dengan binatang singa. Dari
seorang zoolog dia mendapatkan keterangan bahwa singa itu bentuknya menyerupai
anjing, namun muka dan kepalanya kelihatan lebih garang. Pada suatu ketika
orang yang mendapat keterangan tentang nama (sebutan) singa itu berjumpa dengan
binatang serupa anjing di kebun binatang. Maka dia dapat membandingkan
keterangna yang dia terima dengan membandingkan keterangan yang dia terima
dengan binatang yang dilihatnya serta dapat meyakini bahwa binatang tersebut
adalah singa.[17]
Contoh: Meja dan bangku dibuat oleh Tukang
kayu, adanya meja dan bangku disebabkan adanya tukang kayu. Alam semesta ada,
tentu ada yang mengadakannya, yaitu Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa.[18]
4.
Sabda
ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui
penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya (kesaksian)[19].
Sabda pramana dapat dibedakan atas dua hal yaitu:
a.
Kesaksian
yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya karena keluhuran dan ketinggian
budinya, yang dinyatakan di dalam kata-katanya yang disebut pula laukita.
b.
Kesaksian
atau kebenaran weda (waidika). Nyaya memandang dan meyakini bahwa weda merupakan
wahyu Tuhan, maka kesaksian kitab weda dipandang sebagai kesaksian yang
sempurna serta tidak dapat dibantah kebenarannya (weda merupakan kebenaran yang
mutlak)[20]
Supaya mudah dipahami, penulis juga menyajikan
pembagian catur Pramana dalam bentuk bagan:
Dalam sumber lain, Penulis juga menemukan hierarki mengenai catur pramana,
sebagai berikut:[21]
Catur Pramana
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
terdiri dari
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
———————————————————————————————
|
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||
dengan
persepsi berupa
|
Menggunakan
|
dapat
berupa
|
dari
sumber
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||
——————–
|
————
|
————————
|
————–
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||
Laukika |
Alaukika |
Silogisme |
Analogi |
Model |
Simbol |
Laukika |
Wahyu |
|||||||
Sebagai bahan studi, Sad Darsana dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu Nyaya-Vaisesika, Samkhya-Yoga, dan Mimamsa-Vedanta. Namun
disini penulis akan membahas hanya pada Nyaya-Vaisesika saja.
Nyaya-Vaisesika dikelompokkan karena keduanya
meletakkan dasar metodik pengetahuan (sains) serta mengahsilkan konsepsi fisika
dan kimia untuk menunjkkan manifestasi gejala/perwujudan atau fenomena menjadi
tewujud.[22]
Nyaya-Vaisesika mewakili tipe filsafat
analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Mereka mencob untuk
mengembalikan substansi-substansi tradisional, jiwa di dalam diri dan alam
(nature) diluar diri, tanpa semata-mata berdasarkan pada otoritas. Sistem
Nyaya-Vaisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang,
waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa, dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi
pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta.
Bagian yang logis dan fisik menjadi ciri utama dalam tradisi Nyaya- Vaisesika.
Sistem Nyaya menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta
berargumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti,
sedangkan sistem Vaisesika memiliki tujuan utama untuk menganalisis pengalaman.
Kedua sistem ini sudah sejak lama diperlakukan
sebagai bagian dari satu keseluruhan. Sistem Vaisesika dip;akai untuk
melengkapi sistem Nyaya, dan banyak sutras dalam sistem Nyaya mengandaikan
ajaran Vaisesika. Menurut Jacobi, penyatuan kedua sistem ini sudah dimulai
sejak awal dan mencapai puncaknya pada saat Nyayavartika ditulis. Bahkan dalam
Nyaya Bhasya kary6a Vatsayana, kedua sistem ini tidak dipisahkan. Baik Nyaya
maupun Vaisesika sama-sama mempercayaia pluralitas jiwa, Tuhan personal,
semesta yang atomistik dan banyak menggunakan argumen yang sama. Jika Nyaya
menjelaskan tentang proses serta metode tentang pengetahuan objek yang
rasional, maka Vaisesika mengembangkan konstitusi atomis bendda-benda yang
diterima oleh Nyaya tanpa argumen.[23]
A.
Tuhan
dalam filsafat Nyaya
Karena Nyaya meyakini kebenaran weda, maka penganut Nyaya
(Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan dan Tuhan disamakan dengan siwa.[24]
Menurut Nyaya Tuhan adalah penyebab tertinggi penciptaan,
pemeliharaan, dan peleburan dunia. Ia tidak menciptakan dunia dari ketiadaan,
tetapi dari atom-atom eternal; ruang, waktu, ether, pikiran, jiwa-jiwa. Penciptaan
dunia berarti penataan entitas-entitas eternal yang koeksis dengan Tuhan
menjadi dua motral, dimana roh-roh individu menikmati dan menderita menurut
perbuatan baik dan perbuatan buruk, dan semua benda fisik melayani sebagai
sarana tujuan moral dan spiritual kehidupan kita, Tuhan dengan demikian adalah
pencipta dunia dan bukan penyebab materialnya. Ia juga sebagai pemelihara dunia
sepanjang dunia dijaga dalam eksistensi oleh keinginan Tuhan. Ia juga sebagai pelebur
yang mengijinkan kekuatan destruksi beroperasi ketika
tatanan dunia moral menghendakinya kemudian Tuhan satu tak terbatas dan eternal
karena dunia ruang dan waktu, pikiran dan jiwa-jiwa tidak membatasinya tetapi
ia dihubungkan dengan Dia. Sebagai tubuh dan roh yang bersemayam didalamnya ia
maha kuasa walaupun ia dipandu didalam aktifitas perbuatan buruk. Ia maha tahu
sepanjang ia mempunyai pengetahuan benar tentang semua benda dan peristiwa. Ia
mempunyai kesadaran eternal sebagai kekuatan kognisi langsung dan teguh semua
objek. Kesadaran eternal hanyalah atribut Tuhan yang tidak dapat dipisahkan, bukan
esensinya seperti dianut oleh Vedanta. Ia memiliki kesempurnaan (sadisvarya)
dan magis, maha agung, megah, indah, tak terbatas, mempunyai pengetahuan tak
terbatas dan kebebasan dan sempurna dari kemelekatan.
Tuhan
sebagai penyebab efisien dunia, demikian juga Tuhan merupakan penyebab direktif
tindakan-tindakan semua makhluk hidup di dunia ini yang bebas dari kerja, ia
secara relatif bebas, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dia dibawah
direksi dan arahan Tuhan. Seperti halnya dengan seorang ayah yang arif dan
pemurah mengarahkan anak-anaknya mengerjakan suatu aktifitas, menurut
hadiah-hadiah, kapasitas, dan pencapaiannya sebelumnya. Jadi demikian juga Tuhan mengarahkan semua makhluk hidup melakukan
tindakan-tindakan. Sementara manusia adalah penyebab instrumental efisien
(prayojaga karta). Jadi Tuhan adalah pengatur moral dunia beserta semua makhluk
hidup, sementara buah-buah perbuatan dan yang tertinggi dari kenikmatan dan
penderitaan kita.[25]
Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya mengemukakan dua macam
pembuktian tentang Tuhan yaitu:
Bukti Kosmologi
Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu
sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah
Tuhan. Tidak ada sebab pertama kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang
diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan. Tidak ada
sesuatu sebagai penciptanya sendiri
kecuali Tuhan.
Pembuktian Teleologis
Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada
suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu
rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang
mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan.
Tuhan
disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang yang
bersifat kekal abadi, berada di mana-mana, memenuhi alam dan merupakan
kesadaran agung. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom yang
menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, melebur alam
dan segala isinya dengan pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula
menjadi pengatur dan mengodratkan hukum pada alam semesta sehingga berlakunya
hukum alam (rta) yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan
harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup menikmati suka duka dalam usaha
menuju kelepasan.
Penciptaan
alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Dunia yang diciptakan ini
lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam. Dapat
atau tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari
benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi
hidupnya.[26]
B. Alam dalam filsafat Nyaya
Dalam kitab Regweda terdapat
nyanyian yang mengisahkan asal mula alam semesta.
Nyanyian tersebut disebut Nasadiyasukta dan terdiri dari tujuh bait
sebagai berikut:
Pada mulanya
tidak ada sesuatu yang ada namun tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada
udara, tidak ada langit pula. Apakah yang menutupi itu, dan mana itu? Airkah di
sana? Air yang tak terduga dalamnya?
Waktu itu tidak
ada kematian, tidak pula ada kehidupan. Tidak ada yang menandakan siang dan
malam. Yang Esa bernapas tanpa napas menurut kekuatannya sendiri. Di luar
daripada Ia tidak ada apapun.
Pada mulanya
kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah
sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu
adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa
lahirlah kesatuan yang kosong.
Pada mulanya
kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah
sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu
adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa
lahirlah kesatuan yang kosong Sinarnya
terentang keluar. Apakah ia melintang? Apakah ia di bawah atau di atas?
Beberapa menjadi pencurah benih, yang lain amat hebat. Makanan adalah benih
rendah, pemakan adalah benih unggul.
Siapakah yang
sungguh-sungguh mengetahui? Siapakah di dunia ini yang dapat menerangkannya?
Dari manakah kejadian itu, dan dari manakah timbulnya? Para Dewa ada setelah
kejadian itu. Lalu, siapakah yang tahu, darimana ia muncul?
Dia, yang
merupakan awal pertama dari kejadian itu, dari-Nya kejadian itu muncul atau
mungkin tidak. Dia yang mengawasi dunia dari surga tertinggi, sangat
mengetahuinya atau mungkin juga tidak.
Kosmologi Hindu merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan alam semesta menurut filsafat Hindu. Dalam ajaran
kosmologi Hindu, alam semesta dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api
(plasma), dan ether. Kelima unsur tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima
unsur materi.
Menurut kepercayaan Hindu, alam semesta
terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad
diuraikan seperti laba-laba memintal benangnya tahap demi tahap, demikian
pula Brahman menciptakan alam semesta tahap demi tahap. Brahman menciptakan
alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman memancarkan panas. Setelah
menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya.
Menurut kitab purana pada awal proses penciptaan,
terbentuklah Brahmana. Pada awal proses penciptaan juga terbentuk purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini bertemu sehingga
terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur, tidak sekaligus.
Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai
dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas.
Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi
(naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan).
Selanjutnya, muncullah
Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh
indria).
Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan
Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut berevolusi menjadi Pancatanmatra,
yaitu lima benih unsur alam semesta yang sangat halus, tidak berukuran. Lima
benih tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Sabdatanmatra (benih suara)
2. Rupatanmatra (benih
penglihatan)
3. Rasatanmatra (benih perasa)
4. Gandhatanmatra (benih
penciuman)
5. parsatanmatra (benih peraba)
Pancatanmatra merupakan benih saja. Pancatanmatra
berevolusi menjadi unsur-unsur benda
materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima Unsur
Zat Alam. Kelima unsur tersebut yaitu:
.Akasa(ether), Bayu
(zatgas, udara), Teja (plasma, api,
kalor), Apah (zat
cair), Pertiwi (zat padat,tanah, logam)
Pancamahabhuta berbentuk Paramānu, atau
benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta
bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet
dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadangkala ada
salah satu unsur yang mendominasi. Unsur Teja mendominasi matahari,
sedangkan bumi didominasi Pertiwi dan Apah.[27]
Supaya mudah dipahami, penulis juga menyajikan bagan:
C.
Kelepasan
dalam filsafat Nyaya
Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar
dan sempurna. Sebagai wujud dari kelepasan ialah
terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan.
Agar
kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja) dihentikan
sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan
karma ataupun phala karma. Untuk menghentikan aktifitas maka orang (makhluk)
harus melandasi hidupnya dengan pengetahuan kebenaran sejati sehingga dengan
pengetahuan itu orang akan bebas dari ketidaktahuan yang menyebabkan orang menjadi
sadar dan bebas dari keinginan, kesalahan dan penyelewengan. Dengan demikian jiwatma akan bebas dari keterlibatan derita tercapailah
kelepasan.[28]
Bila dijelaskan dengan bagan:
2.
Mimamsa
Sistem Mimamsa digolongkan dalam bagian ketiga dari filsafat Hindu.
Istilah Mimamsa berasal dari kata dasar man
berarti ’berfikir’, ‘memperhatikan’,
‘menimbang’, atau ‘menyelidiki’. Ditinjau dari segi etimologi ingin berfikir :
disini menandakan suatu pemikiran, pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks
weda. Ia melengkapi pandangan pada weda (kebenaran abadi).[29] Dalam sumber lain yang ditulis oleh Matius Ali, secara etimologis
kata Mimamsa berarti ‘bertanya’ atau
‘penyelidikan’.[30]
Mimamsa dibagi menjadi dua sistem, yakni purwamimamsa dan
uttaramimamsa. Kata purna berarti lebih dahulu, maka purwamimamsa artinya yang
berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka weda. Demikian pula kata uttara
berarti yang kemudian jadi uttaramimamsa
berurusan dengan bagian akhir dari pustaka weda. Kedua sistem tersebut
mempergunakan metode logika yang sama untuk menghadapi persoalan; tetapi
memakai lingkungan tafsiran masing-masing. Purvamimamsa juga disebut karma
mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam weda, memimpin ke jurusan kebebasan
roh/soul.[31] Dengan kata lain Mimamsa disebut Karma
Mimamsa karena dalam prakteknya sangat menekankan karma yaitu pelaksanaaan
upacara agama untuk mencapai tujuan.[32] Uttara mimamsa, juga disebut Jnana mimamsa menafsirkan pengetahuan
yang dikemukakan dalam pustaka weda, demi pembebasan roh/soul.[33]
Purwa
mimamsa secara khusus mengkaji bagian Weda, yakni kitab-kitab Brahmana dan
kalpasutra, sedang bagian yang lain (aranyaka dan upanisad) dibahas oleh Uttara
Mimamsa yang dikenal pula dengan nama Vedanta. Purwa
mimamsa sering juga disebut Karma mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga
Jnana Mimamsa.[34]
Dalam
buku yang ditulis oleh Matius Ali disebutkan bahwa Mimamsa yang bagian pertama
dari filsafat ini adalah Purva Mimamsa,
sedangkan bagian kedua disebut Uttara
Mimamsa. Untuk menghindarkan kebingungan,
maka Purva Mimamsa disebut dengan Mimamsa, sedangkan Uttara Mimamsa disebut dengan Vedanta.[35]
Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini yang hidup antara abad 3-2 SM. Ajarannya
tercantum dalam kitab Mimamsa sutra. Di suatu tempat antara tahun
200-450 M penemuan-penemuan yang rasional dan definitif itu didokumentasikan
dalam Purvamimamsa sutra.[36] Pada zaman berikutnya
ajaran Mimamsa dikomentari oleh pengikutnya, yakni Sabaraswamin pada abad ke 4
M, Prabhakara pada tahun 650, dan Kumarila Bhata tahun 700. Oleh karena itu
terjadilah dua aliran dalam Mimamsa, yakni Prabhakara dan Kumarila Bhata.
Prabhakara
mengajarkan lima cara untuk memperoleh pengetahuan dan Kumarila Bhata
mengajarkan enam cara yang mana lima diantaranya sama dengan ajaran Prabhakara.
Cara-cara tersebut adalah:
a.
Pengamatan (Pratyaksa)
b.
Penyimpulan (Anumana)
c.
Kesaksian (Sabda)
d.
Pembandingan (Upamana)
e.
Persangkaan (Arthapatti)
Bila empat cara pertama tidak dapat dipakai
maka dipakailah cara ini. Misalnya: bila terlihat seseorang dalam keadaan
senyum dan mukanya berseri-seri maka dapat diduga bahwa orang tersebut sukses
dalam usahanya.
f.
Ketiadaan (Anupalabdhi)
Ialah cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata.
Dapat diterangkan dengan contoh.
Misalnya: bila seseorang masuk ke dalam kamar
dan mengamat-amati sekeliling kamar dan mengatakan tidak ada jenis meja di
dalam kamar. Dia tidak melihat meja karena memang tidak ada meja. Maka orang
menjadi tahu keadaan kamar dan ketidakadaan meja karena tidak mengamati
sesuatu.
Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (Sabda)
ialah yang paling penting dan utama, yakni kesaksian dalam Weda. Weda adalah kebenaran
yang tertinggi dan sebagai sumber pengetahuan yang sempurna. [37]
Mimamsa tidak mengenal Tuhan, yakni ada kosmis
yang memberikan hukuman atau hadiah pada tindakan individual (karma) yang
dilakukan jiwa individual. Filsafat mimamsa tidak banyak memberikan perhatian
pada kosmologi. Namun, mimamsa menyebutkan ke enam kategori unsur, yakni:
tanah, air, api, udara, eter, dan suara (sabda). Menurut Mimamsa setiap
kategori unsur disebabkan oleh unsur sebelumnya. Air menyebabkan tanah; api
mkenyebabkan air, dst. Karena itu suara adalah satu-satunya penyebab terjadinya
penciptaan dan bersifat abadi. Semua kategori lain dengan komposisi atomisnya
adalah bersifat sementara.
Filsafat Mimamsa adalah sebuah disiplin esoteris. Tujuannya adalah
untuk mencapai kebahagiaan surgawi dengan merealisasikan suara kosmis (Sabda Brahman). Upacara kurban dianggap
sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini, tafsir esoteris kata
yajna adalah ‘mengendalikan indera dan pikiran’. Pengendalian ini dicapai
dengan pengendalian energi hidup’ (prana)
melalui pengendalian napas (pranayama).
Syarat penting lainnya dalam praktek upacara kurban adalah melepaskan milik
pribadi serta ‘disiplin diri’ (yama)
melalui sumpah yang keras.[38]
Namun
disebutkan dalam buku Tattwa Darsana bahwa tujuan pokok dari Mimamsa adalah menyusun
aturan dan tehnik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan
dharma.[39] –istilah dharma berasal
dari kata dhar artinya memegang, menunjang, memelihara atau mengawetkan.
Berarti sesuatu untuk dipegang, dipeliihara, atau diawetkan. Apabila dipakai
dalam arti metafisika berarti hukum.[40]— yang dimaksud dharma
(hukum) disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda.
Mimamsa sangat mengutamakan kesusilaan. Kebersihan dalam kesusilaan merupakan
syarat mutlak dalam pelaksanaan upacara karena kebersihan itu dapat menyebabkan
berhasilnya upacara korban dan dapat memberikan phala yang diharapkan.[41] –phala dapat diartikan
dengan buah atau hasil[42]--
Dharma
yang dilakukan sekarang dengan hasilnya diterangkan dalam ajaran apurwa (tenaga
yang tidak tampak). Dalam ajaran ini dinyatakan bahwa dharma atau korban dapat
melahirkan tenaga (daya/kekuatan) dalam jiwa. Tenaga berhubungan dengan buahnya
sampai buahnya masak. Jadi tenaga menjadi jembatan antara dharma dengan buahnya
sehingga buah dapat dipetik.[43]
Dasar
utama dharma adalah perbuatan (aksi) yang merupakan wujud kehidupan manusia.
Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanamkan benih kehidupan
pada masa yang akan datang. Berdasarkan pendapat tersebut sebagai pangkal pembicaraan
itu, Mimamsa menerima semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta
membagi menjadi dua bagian, yaitu: Mantra dan Brahmana.[44] Yang mana dibagi menjadi
berikut:
1. Mantra atau Samhita. Ini adalah sebagian
Weda yang mengandung perintah, merupakan koleksi dari nyanyian yang menerangkan
dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi pula menjadi:
Ø Rigveda: koleksi dari bagian yang mengandung perintah Weda, merupakan
koleksi sajak-sajak suci yang bersusunan metris untuk menyampaikan ajaranya
Ø Sama Weda: suatu koleksi dar sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir
upacara korban
Ø Yajur Weda: dalam bentuk prosa tanpa irama. Sajak ini terdiri dua jenis:
nigada (yang harus dilafalkan dengan keras), dan Upamsu (yang harus dilafalkan
dengan suara rendah atau diam-diam).
2.
Brahmana
No.
|
No.
|
||
1
|
Hetu-akal budi
|
6
|
Vidhi-Perintah
|
2
|
Nirvacanam-Penjelsan
|
7
|
Parakirya-Perbuatan suatu individu
|
3
|
Ninda-Gugatan; Kritik
|
8
|
Purakalpa-perbuatan para individu atau suatu
negara atau para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘aha’, atau
‘ha’
|
4
|
Prasansa-Pujian
|
9
|
Vyavadharanakalpana-interpretasi suatu
kalimat menurut konteksnya
|
5
|
Samsaya-Kesangsian
|
10
|
Upamana-perbandinga
|
prinsip-prinsip yang di ikhtisarkan di atas dipakai dalam
Mimamsasutra, terutama dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan
umat manusia.[45]
Pangkal pikiran Mimamsa tercentum dalam sajak pembukaan Mimamsa
sutra yang berbunyi; “kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah
dasar untuk ingterpretasi seluruh Weda. [46]
Menurut Jamini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat
diperoleh melalui penyaksian kata-kata (sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang
dipakai sistim-sistim lain, menurut Jamini kurang sempurna apabila berurutan
dengan pengaruh/ efek rituil yang tidak kelihatan. Maka ia hanya menerima sabda
atau perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya (argumentasinya), ia
menggariskan lima pernyataan:
1.
Setiap perkataan (sabda) mempunyai daya yang
kekal abadi
2.
Pengetahuan yang diturunkan dari perkataan
(sabda) disebut upadeca (ajaran)
3.
Dalam alam yang tak kelihatan, perkataan
(sabda) merupakan penuntun mutlak
4.
Pada hemat Badarayana, perbuatan bersifat
penguasa memerintah.
5.
Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak
tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak demikian ia akan menjadi buah
pikiran yang tak benar.
Metode
tafsiran teks Weda yang dipakai Jamini merupakan ikhtisar istilah-istilah yang
digunakan serampangan dalam teksnya. Untuk keperluan tersebut, isi Weda
dibaginya menjadi lima bagian:
1. Amanat/ perintah (Vidhi)
2. Nyanyian/Puji-pujian (mantra)
3. Nama khusus (Namadheya)
4. Larangan (Nasedha)
5. Ayat-ayat penjelasan (Arthavada).[47]
Pustaka
Mimamsa sutra terdiri atas dua belas bab (adhayana). Masing-masing
dibagi menjadi empat bagian; sedangkan bab 3, 6, dan 10 berisikan delapan
bagian. Jadi seluruhnya berjumlah enampuluh bagian. Tiap bagian dibagi pula
menjadi seksi-seksi (adhikarana) dan tiap seksi dibentuk dalam bentuk seloka
(bentuk kalimat ringkas). Tiap seksi (adhikarana) mempunyai lima bagian:
1.
Tesis/ Sasterakanta (Visaya)
2.
Kesangsian (samsaya)
3.
Antitese/pertentangan (purvapaksa)
4.
Konklusi benar/sintesis (siddhanta)
5.
Persetujuan/ketetapan hati (sampati)
Hanya bab pertama yang mengandung nilai
filsafat. Bagian-bagian selanjutnya manjelaskan tafsiran ritual dan
upacara-upacara kebaktian.
Dapat disimpulkan, menurut sistim Mimamsa
segala yang ada di dunia ini merupakan komposisi dari benda-benda yang sesuai dengan
karmanya atau kerjanya; karma ialah suatu moral atau tata susila yang
menentukan kebebasan jiwa setiap umat daripada kelahiran kembali, maka harus
melakukan ritual atau kebaktian dengan saran yang benar guna mendapatkan
hasilnya.[48]
Seperti penjelasan diatas bahwa dalam Sad
Darsana terbagi dalam tiga kelompok, salah satu diantaranya yaitu
Mimamsa-Vedanta. Sistem Mimamsa-Vedanta
adalah dua bagian dari satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari
tradisi Weda. Kedua sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang
lingkup teks Weda. Mereka merupakan renungan mendalam dari pencarian yang
panjang akan kesatuan mendasar yang melandasi pembentukan dunia luar dan
daya-daya tersembunyi kehidupan batin.
Filsafat Mimamsa menjelaskan ritual weda
(karmakanda). Vdedanta menjelaskan bagian pengetahuan weda (jnanakanda). Karena
kedua sistem ini berhubungan dengan aspek-aspek eksklusif weda, maka tidak
terdapat banyak kesamaan diantara kedua filsafat ini. Mumamsa berhubungan
dengan suara kosmis (sabda Brahman) yang dibekali dengan nama-nama serta bentuk
yang diproyeksikan dalam pewahyuan weda, dan bertindak sebagai esensi semua
kidung, mantra, dan doa. Yang terkandung didalam Weda, sedangkan filsafat
vedanta berhubungan dengan realitas terakhir (Ultimate Reality) atau peran Param
- Brahman, yang transenden serta tidak memiliki nama dan bentuk.hanya
setelah menguasai bagian sabda-Brahman, kita dapat merealisasikan Param
- Brahman.[49]
A.
Alam
dalam filsafat Mimamsa
Mimasa mengatakan
bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula.
Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua
aliran mimasa baik phrabakara maupun kumarila bhata sama-sama mengajarkan
adanya empat unsur di alam ini yaitu: substansi, kualitas, aktifitas dan sifat
umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari
sembilan (9), yaitu: bumi, air, api, hawa, akasa, akal, pribadi, ruang, waktu.
Sedang substansi menurut Kumarita Bhata mengajarkan ada sebelas (11) yaitu
sembilan sama dengan Prabhakara dan ditambah dua yaitu kegelapan (tamasa) dan
suara.
Substansi itu adalah sesuatu yang dapat
diamati karena terdiri dari atom-atom yang dapat diamati seperti debu halus
yang tampak dalam sinar matahari. Substansi, kwalitas dan sifat umum
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun
ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan
yang bulat.
Contoh: daun itu hijau dan berfungsi sebagai
alat fotosintesis. Daun dengan warna hijaunya dan sifat umumnya tidak dapat
dipisahkan secara mutlak dan ketiganya itu mewujudkan satu kesatuan yang bulat
sehingga menampakkan suatu benda.[50]
B.Weda
dalam filsafat Mimamsa
Mimamsa
mendasarkan ajarannya pada kitab suci weda dan weda diakui sebagai sumber
pengetahuan yang maha sempurna. Weda itu bukan hasil karya manusia karena weda
itu amat sempurna sedangkan manusia tidak sempurna adanya. Walaupun demikan
weda bukan pula ciptaan Tuhan karena weda telah ada tanpa ada yang mengadakan
dan weda ada dengan sendirinya serta bersifat kekal abadi. Kebenaran weda
mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh
manusia.[51]
Dalam filsafat Mimamsa, liturgi Weda dijelaskan melalui sejumlah
besar data yang disampaikan dalam 900 judul terpisah, yang disebut adhikarama. Setiap judul mengandung
argumen lengkap mengenai subjek tertentu. Judul terdiri atas lima bagian,
yakni: topik masalah (vaisyaya), keraguan
(samasya), argumen awal mengankat
keraguan (purva-paksha), argumen
berlawanan yang mencoba membantah argument awal (uttarapaksha), dan kesimpulan (nirnaya).
Dengan cara ini, Mimamsa merumuskan secara canggih pola-pola liturgy ortodoks
kitab Weda.[52]
PENUTUP
Kesimpulan
A.
Nyaya
·
Nyaya
membicarakan bagian umum filsafat dan metode untuk mengadakan penelitian yang
kritis
·
Pendiri ajaran ini adalah Mahersi Gautama
(Gotami), kitabnya yaitu Nyayasutra
·
Nyaya memiliki tipe filsafat yang analitis
serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem Nyaya adalah
penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis
·
Dalam arti sempit Nyaya berarti penalaran
silogostis. Sedangkan dalam arti lebih luas, Nyaya berarti pemeriksaan objek
melalui bukti-bukti. Karenanya Nyaya menjadi sebuah sains pembuktian atau
pengetahuan nyang benar (Pramanashastra).
·
Untuk
mengetahui dunia di luar manusia, pikiran dibantu (melalui perantara) oleh indera
·
pengetahuan kita berlaku (benar) atau tidak,
hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai.
·
Alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan disebut pramana
·
empat alat atau cara untuk mencari atau
mendapatkan pengetahuan yang benar, diantaranya:
Pratyaksa, Anumana, Upamana, Sabda.
·
Tuhan
disamakan dengan siwa.
·
Menurut
Nyaya Tuhan adalah penyebab tertinggi penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan
dunia
·
Ada
dua macam pembuktian tentang Tuhan: Komologi, yaitu Pembuktian ini menyatakan
bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Sebab itulah Tuhan; dan teleologis,
yaitu di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia ini
menampakkan suatu rencana yaitu Tuhan
·
Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari
atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat,
melebur alam dan segala isinya dengan pengaruh karma dari alam dan isinya.
·
Dunia yang diciptakan ini lengkap dengan
derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam, dapat atau tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat
tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk
·
Dalam ajaran kosmologi Hindu, alam semesta
dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat
padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma), dan ether. Kelima unsur
tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima unsur materi.
·
alam semesta terbentuk secara bertahap dan
berevolusi
·
Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah
alam semesta
·
Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam
pikiran), yang sudah mulai dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas
dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang
terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara
(rasa keakuan). Selanjutnya, muncullah
Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh
indria).
·
Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan
Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut berevolusi menjadi Pancatanmatra,
yaitu lima benih unsur alam semesta
·
Pancatanmatra berevolusi menjadi unsur-unsur
benda materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima
Unsur Zat Alam
·
Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak
dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan
·
Kelepasan
akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna
·
Agar
kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja) dihentikan,
Untuk menghentikan aktifitas maka orang (makhluk) harus melandasi hidupnya
dengan pengetahuan kebenaran sejati sehingga dengan pengetahuan itu orang akan
bebas dari ketidaktahuan dan bebas dari keinginan, kesalahan dan penyelewengan
·
Dengan
demikian jiwatma akan bebas dari keterlibatan derita tercapailah kelepasan
B. Mimamsa
·
Istilah
Mimamsa berasal dari kata dasar man berarti ’berfikir’, ‘memperhatikan’,
‘menimbang’, atau ‘menyelidiki’.
·
Secara
etimologi ingin berfikir . berarti pemikiran,
pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks weda
·
Purwa mimamsa secara khusus mengkaji bagian
veda
·
Purvamimamsa
juga disebut karma mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam weda
·
Pembina
sistem Mimamsa adalah Jamini, kitabnya Mimamsa sutra
·
Ada dua aliran dalam Mimamsa, yakni Prabhakara dan
Kumarila Bhata
·
rabhakara mengajarkan lima cara untuk
memperoleh pengetahuan dan Kumarila Bhata mengajarkan enam
·
Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (Sabda)
ialah yang paling penting dan utama, yakni kesaksian dalam Weda
·
Tujuan
Mimamsa adalah untuk mencapai kebahagiaan surgawi, hal itu dapat dilakukan
dengan pelaksanaan dharma, yakni upacara kurban
·
Mimamsa menerima semua perbuatan terlarang
dalam pustaka Weda, serta membagi menjadi dua bagian, yaitu: Mantra dan Brahmana
·
Pangkal pikiran Mimamsa tercentum dalam sajak
pembukaan Mimamsa sutra yang berbunyi; “kini adalah pemeriksaan
kewajiban (dharma)”
·
Menurut Jamini, pengetahuan tentang dharma
hanya dapat diperoleh melalui penyaksian kata-kata (sabda)
·
Pustaka Mimamsasutra terdiri atas dua belas
bab (adhayana). Masing-masing dibagi menjadi empat bagian; sedangkan bab 3, 6,
dan 10 berisikan delapan bagian
·
Hanya
bab pertama yang mengandung nilai filsafat. Bagian-bagian selanjutnya
manjelaskan tafsiran ritual dan upacara-upacara kebaktian
·
Menurut
Mimamsa alam itu kekal, tidak dibuat ileh Yuhan, dan ada dengan sendirinya
·
Substansi
yaitu: bumi, air, api, hawa, akasa, akal, pribadi, ruang, waktu, ditambah tamas dan suara
·
Substansi,
kwalitas, dan sifat umum tidak dapat dipisahkan
·
weda diakui sebagai sumber pengetahuan yang
maha sempurna, weda bukan pula ciptaan Tuhan, weda ada dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Admin, Pratyaksa, diakses pada 13 November
2012, dari http://informatika.undiksha.ac.id/sklb/?p=188
·
Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah Agama-Agama,
Penerbit Kurnia Kalam Semesta, Jakarta:2009
·
Harsa
Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna
dan Hindu Dharma, Medan:Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980
·
Harun
Hadiwijono, Sari Filsafat India, PT.
BPK Gunung Mulia, Jakarta:1989
·
Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet. I, 2003
·
I
Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta:1990
·
I
Made Titib, Pengantar Weda, Hanuman
Sakti, Jakarta: 1996
·
Matius
Ali, Filsafat India, Sanggar Luxor,
Karang Mulya: 2010, cet l
·
Teja
Surya, filsafat Nyaya diakses pada 12
September 2012, http://www.tejasurya.com/artikel-spiritual/filsafat/87.html
·
Wikipedia, kosmologi
Hindu, diakses pada 19 September 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmologi_Hindu
·
Wikipedia, Agama Hindu, diakses pada 15 November 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
[1]
Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India,
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989,
h. 53
[2]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi,
1990, h. 21
[3]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, Medan:Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980,
h. 12
[5]
I Made Titib, Pengantar Weda, Jakarta: Hanuman Sakti,
1996, h. 155
[6]
Matius Ali, Filsafat India, Karang
Mulya: Sanggar Luxor , cet l, 2010, h. 33-35
[7]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 12
[8]
Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat
India, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet l, 2003, h.
[9]
Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, h. 53
[10]
Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah
Agama-Agama, Jakarta: Penerbit
Kurnia Kalam Semesta, 2009, h. 57-58
[11]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 24-25
[12]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 13
[13]
Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah
Agama-Agama, h. 58
[14]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 23-24
[15]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 13
[16]
Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah
Agama-Agama, h. 58
[17]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 22
[18]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 13
[19]
Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah
Agama-Agama, h. 58
[20]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 22
[21]
Admin, Pratyaksa, diakses
pada 13 november 2012, dari http://informatika.undiksha.ac.id/sklb/?p=188
[22]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 10
[23]
Matius Ali, Filsafat India, Karang
Mulya: Sanggar Luxor , cet l, 2010, h. 31-32
[24]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 26
[25]
Teja Surya, filsafat Nyaya Diakses pada 12 september 2012,, http://www.tejasurya.com/artikel-spiritual/filsafat/87.html
[26]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 25-26
[27]
Wikipedia, kosmologi
Hindu, diakses pada 19 sept 2012, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmologi_Hindu
[29]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 27
[30]
Matius Ali, Filsafat India, Sanggar
Luxor ,Karang Mulya: 2010, cet l, h. 89
[31]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 83
[33]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 83
[34]
I Made Titib,Pengantar Weda, h. 154
[35]
Matius Ali, Filsafat India, h. 89
[36]
Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat
India, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet l, 2003, h. 584
[38]
Matius Ali, Filsafat India, h. 90-92
[40]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 29
[42]
Wikipedia, Agama Hindu, diakses pada
15 november 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
[44]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 28
[45]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 31
[46]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 29
[47]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h. 30
[48]
Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha
Dharna dan Hindu Dharma, h.
30-31
[49]
Matius Ali, Filsafat India, h. 90-91
[50]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 40
[51]
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
h. 41
[52]
Matius Ali, Filsafat India, h. 90